Beberapa saat pasca berakhirnya AFF Cup 2010, saya senang mengamati pemberitaan sepakbola di beberapa media elektronik. Ada yang mencoba berevaluasi ria, sementara ada yang mencoba menggelorakan semangat nasionalisme - terlepas dari hasil yang dipetik.
Untuk menghindari kejenuhan pemberitaan, narasumber yang digunakan diperluas. Tidak saja datang dari komunitas sepakbola, namun komunitas di luarnya pun turut diundang. Maka tersebutlah beberapa individu yang biasa fasih berbicara politik, hukum, dan sebagainya meramaikan jagad dialog publik sepakbola. Saya hanya bisa tersenyum simpul. Strategi diversifikasi berita - begitu pikiran dangkal saya.
Namun, pemberitaan mulai berkembang “panas” ketika sebuah liga tandingan dari yang diorganisasi oleh PSSI diperkenalkan. Sebuah liga yang - konon katanya mengarahkan klub di dalamnya menjadi profesional, menyapih dari pengaruh APBD - diinisiasi oleh sekelompok masyarakat yang didukung oleh Arifin Panigoro dan konsorsiumnya. LPI atau Liga Primer Indonesia namanya.

Logo LPI. diunduh melalui fasilitas search engine Google
Berbagai upaya pun mulai dilakukan untuk menghadangnya. Berbekal UU Sistem Keolahragaan Nasional di mana secara jelas mengamanahkan induk olahraga untuk berlaku 3 in 1 (regulator, koordinator dan supervisor), PSSI mulai bergerilya dan bermanuver. Ancaman degradasi bagi klub sepakbola yang bergabung dengan LPI, pencoretan dari daftar resmi agen pemain terhadap mereka yang berhubungan dengan klub LPI, melaporkan wasit yang memimpin pertandingan ke FIFA, hingga yang paling gres diberikan kepada pemain: ancaman tidak dapat memperkuat timnas.
Masalah jadi dilematis bagi PSSI. Salah satu pemain yang akan terkena ancaman ini justru adalah seorang anak muda yang tergabung dalam program “MercuSuar” PSSI berjudul Naturalisasi, yaitu Kim Jeffrey Kurniawan, yang sudah berikrar setia ke Persema Malang (salah satu klub yang membelot ke LPI). Yang lain, tentu saja Sang Selebritis Sepakbola Indonesia, Irfan Bachdim.
Konflik mulai meluas. Aparat keamanan dlibatkan
Stasiun televisi pun serasa mendapatkan bensin baru selepas berita epilog AFF Cup 2010 menjadi jenuh. Salah satu stasiun televisi yang sangat gigih (baca: getol) mengangkat isu ini adalah MetroTV. Beberapa hari belakang bahkan tema dialog yang diangkat memiliki benang merah, yaitu “Arogansi PSSI”. Berita pagi hingga berita petang tidak luput salah satu segmennya mengangkat kekisruhan PSSI vs LPI.
Adakah yang salah?
Terlepas dari kekesalan pribadi dengan pengurus teras PSSI atas segala kelakuan yang nir-prestasi, namun saya tidak sanggup menahan diri untuk sedikit berpikir nakal melihat sudut pandang yang coba diangkat oleh MetroTV dalam memotret fenomena ini.
Ada apa sehingga MetroTV begitu semangat menggosok berita ini?
Sebelum menarik kesimpulan, saya tergelitik untuk melakukan sedikit komparasi pemberitaan di stasiun lainnya. Yang sempat saya jadikan benchmark adalah TVOne, RCTI, dan SCTV. Patut dicatat, saya hanya mampu mengamati pada saat segmen beritanya saja. Kendala waktu membuat saya tidak mampu meneropong segmen infotainment atau dialog-dialog yang diselenggarakan di waktu kerja. Saya juga hanya masyarakat awam yang pandir dalam melakukan analisa media. Jadi, jika analisa ini dianggap dangkal dan banyak bolongnya, mohon koreksinya sahaja.
Hasilnya? Harus saya akui ada kecenderungan pemberitaan yang berat sebelah dilakukan oleh MetroTV dalam menyikapi kasus ini. Jika diperbolehkan, ijinkan saya menggunakan pemberitaan MetroTV ada dalam kubu ekstrem keras. Ekstrem karena sangat kentara keberpihakan stasiun televisi yang bersangkutan.
MetroTV selalu menggunakan pengamat yang sama - sementara pembicara panelnya biasa divariasikan. Istri saya bahkan sempat nyeletuk pagi ini dengan dua kata. “Dia lagi?”. Lalu mengangkat tema yang sama, diulang-ulang, dan diberikan penekanan pada “Arogansi PSSI”. Sementara stasiun lain cenderung netral. Meski mengkritik keras kebijakan PSSI dalam memperlakukan LPI, namun - sekali lagi dalam perspektif pribadi - masih dalam kadar yang wajar dan cenderung tidak bombastis.
Ada apa gerangan?
Ah, saya tidak mampu menghindari pemikiran nakal bahwa upaya memanaskan kisruh ini sebenarnya adalah menjaga bara api dalam sekam atas rivalitas antara dua tokoh elit politik nasional, yaitu Aburizal Bakrie (Ical) dan Surya Paloh.
Ical sangat dekat dengan Ketum PSSI yang pada kondisi yang sama merupakan kader loyal Partai Golkar. Bahkan menurut pengakuan yang meluncur sendiri dari mulut sang Ketum, Ical adalah penyumbang terbesar PSSI sehingga PSSI mampu beroperasional sehari-hari. Sementara Surya Paloh adalah mantan pesaing Ical sebagai Ketua Umum PG, yang kemudian tersingkir dari kepengurusan dan mendirikan OMS bernama Nasional Demokrat. Dan beliau adalah pemilik MetroTV.
Investasi jangka panjang 2014? Sangat mungkin terjadi! Saya tidak akan menutup kemungkinan bahwa pemberitaan yang dilakukan adalah upaya menggiring opini masyarakat Indonesia - yang sempat terkonsentrasi pada sepakbola nasional - menjadi agenda isu politik praktis 2014. Upaya dekapitalisasi dari calon pesaing harus sesegera mungkin dilakukan dari saat ini. Mumpung medan peperangan masih cukup jauh, dan tools (baca: media) masih bisa dimanfaatkan secara sempurna. Tentu media merupakan alat propaganda yang paling efektif di era modern saat ini.
Mengapa saya tertarik menulis ini? Terus terang, saya jengah dengan upaya mengaitkan sepakbola, dan olahraga pada umumnya, dengan agenda-agenda politik praktis (suara dan kekuasaan semata). Sementara esensi penting, yaitu membangun dan memajukan olahraga menjadi terlewatkan.
2011, Indonesia memiliki beberapa agenda internasional. Di SEA Games sepakbola ditargetkan meraih emas yang terahkir digenggam tahun 1991. Kita juga masih terus memupuk mimpi membawa pulang tropi kejuaraan Thomas dan Uber Cup. Bahkan Sudirman Cup sudah lama tidak mampir ke kampung halamannya semenjak pertama diselenggarakan tahun 1989. Maka, berhentilah mencampur-adukkan agenda bangsa dengan agenda politik praktis.
Entah apa yang terjadi jika kisruh PSSI vs LPI - atau lebih tepatnya ISL vs LPI - di media terus berlanjut. Bisa jadi klimaksnya adalah menjelang 2014, ketika medan perang itu semakin terbuka. Dan siapa kawan, siapa lawan sudah terindentifikasi dengan jelas. Jika ini terjadi, saya hanya bisa berkata keinginan banyak masyarakat Indonesia melihat olahraga berprestasi di tingkat dunia hanyalah mimpi di siang bolong!
Semoga tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar