Jumat, 29 April 2011

Kerusuhan Tasikmalaya 1996

Nama Tasikmalaya tiba-tiba saja menjadi terkenal. Kota yang punya 925
pesantren dan dikenal adem ayem itu 26 Desember 1996 bergolak -- bermula
dari penganiayaan terhadap seorang ustadz dan dua muridnya oleh empat
oknum polisi di Mapolres. Pertanyaan pun muncul: mengapa Tasikmalaya
bergolak? Mengapa Tasikmalaya? Siapa pemicu kerusuhan?


 
 
KRONOLOGIS :
 
9 Desember 1996

Rizal, anak Kopral Kepala Pol Nursamsi yang menjadi santri di Pesantren
Riyadhul Ulul Wadda, Condong Setia, Negara Cibereum, diduga mencuri barang
milik santri dan kas (keuangan) Ponpes. Tiga santri senior, memberikan
hukuman dengan merendam kaki Rizal (sebatas lutut) di kolam pesantren.
Nursamsi keberatan atas hukuman itu dan menyampaikan hal itu kepada
rekan-rekannya di Polres.

20 Desember 1996

Pimpinan pesantren Condong Cibereum dipanggil ke Polres untuk mengadakan
pembicaraan kasus tersebut. Permasalahan tersebut dinyatakan selesai tetapi
dalam hal ini Kapolres tidak mengetahui adanya pemanggilan itu.

21 Desember 1996

Nursamsi kembali memanggil Pimpinan Ponpes Condong Cibereum, K.H. Mahfud
Farid, Habib, dan Iksan. Pada saat santri Habib dan Iksan serta KH Farid
masuk ke Mapolres di depan penjagaan, santri Habib langsung dipukul oleh
Nursamsi (ayah Rizal). Merasa anak didiknya dipukul, KH Mahfud Farid ikut
melerai dan menangkis pukulan Kopka Nursamsi. Hal ini malah dianggap sebagai
upaya melawan petugas Polres.
Selanjutnya tiga orang tersebut dibawa ke
ruang pemeriksaan, sedangkan ajengan Ate dari Ponpes Cilendek sempat melihat kejadian tersebut dan melaporkan peristiwa itu kepada pejabat Pemda
setempat. Wakil Bupati H. Oman Roesman memerintahkan Kabag Ketertiban Itang untuk melaporkan kasus tersebut ke Kakansospol M. Suherman untuk dilakukan pengecekan.

24 Desember 1996
Karena terlalu banyak santri yang menengok ke rumah sakit, maka untuk
sementara perawatannya dialihkan ke Dr. Lukmantara.

25 Desember 1996

Tersiar isu bahwa pimpinan ponpes dan santri lurah meninggal dan muncul
selebaran gelap isinya agar mengajak doa bersama di Masjid Agung.
Sementara
itu empat oknum polisi yaitu Kopka Nursamsi, Serda Pol Agus Kartadinata,
Serda Pol Agus Julianto, Serda Pol Dedi diserahkan ke Den Pom Garut.

26 Desember 1996

Pukul 08.00 para santri berdatangan ke Masdjid Agung Pukul 10.00, para
santri dianjurkan masuk ke Masdjid Agung.

Pukul 13.30 setelah para santri bubar dari Masdjid Agung, langsung bergabung
dengan massa yang telah melakukan unjuk rasa.

Pukul 14.00 para pimpinan Ponpes dan Muspida diundang bermusyarawah di
Pendopo diterima oleh Dan Rem 062. Dalam pertemuan itu KH Asep dan KH Didi
menganjurkan agar para pimpinan Ponpes membantu Bupati.

Pukul 15.00 bantuan keamanan dari Yonif 301, 303, 321 dan 323 didatangkan
untuk memulihkan keamanan. Pukul 21.00 situasi di dalam kota Tasikmalaya
dapat dikendalikan aparat keamanan.





Analisa

Tasikmalaya memang bak 'anak baik-baik' -- meski usianya sudah
185 tahun. Kota yang memiliki 64.233 santri dan 1.413 kiai di 925
pesantren itu telah 11 tahun berturut-turut menempati urutan pertama di
Jabar dalam hal pengumpulan zakat fitrah. Daerah yang dikenal sebagai
basis tukang kredit di seluruh Indonesia itu juga telah empat kali
menyabet penghargaan Adipura. Selangkah lagi, Tasikmalaya akan meraih
Adipura Kencana -- lambang supremasi tertinggi dalam kebersihan kota.

Soal kerukunan beragama pun Tasikmalaya tak pernah menyimpan masalah --
meski jumlah muslim di Tasik, mencapai 99,07 persen, atau 1.809.434 orang.
Sementara pemeluk non-Islam meliputi: Katolik 2.821 orang, Protestan 4.355
orang, pemeluk Hindu 143 orang, penganut Budha 3.736 orang. "Selama ini
memang tak ada masalah," ujar mantan Ketua Badan Musyawarah Antargereja (BAMAG) Tasik, Pendeta Cornelius Eddy.

Secara ekonomi Tasikmalaya pun berkembang wajar. Walaupun laju pertumbuhan ekonomi tak setinggi angka pertumbuhan nasional cuma 6,06 persen per tahun Tasikmalaya mulai menggeliat. Indikator yang gampang dilihat adalah menjamurnya bank di jalan-jalan protokol seperti Jl. H.Z. Mustofa
tempat kerusakan terparah. Hingga kerusuhan 26 Desember 1996 ada 61
bank di antaranya adalah 18 cabang bank umum. Selain itu ada delapan
cabang perusahaan asuransi yang menyerbu Tasikmalaya. Sejumlah departement store terkemuka juga ikut berebut kue bisnis di Tasikmalaya. Contohnya Yogya, Matahari, Ramayana.

Perkembangan Tasikmalaya -- dengan segala kelebihan dan kekurangannya -
ini tak memuaskan semua kalangan. Selama tahun 1996 saja, tanpa disadari
banyak pihak, ada tiga masalah sebagai 'bara dalam sekam' bagi kota yang
memiliki penganggur terdaftar di Depnaker sebanyak 7.479 orang itu.

Tiga masalah itu, menurut catatan Republika meliputi relokasi Pasar Baru,
sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan antara pribumi dan non-pri, dan
berlarut-larutnya masalah pencemaran limbah pabrik sabun.


Dalam relokasi Pasar Baru ini, masyarakat -- terutama para pedagang --
menilai pihak Pemda setempat lebih memihak kepada kelompok nonpri. Mengapa demikian? Para pedagang pribumi umumnya kecewa soal penempatan mereka di lokasi baru.

Kios-kios strategis ternyata banyak dihuni kelompok nonpri. Sedangkan
kelompok pribumi mendapat kios yang kurang baik. Mereka menuduh telah
terjadi kolusi pejabat Pemda Tasikmalaya dengan pengusaha nonpri. Para
pedagang telah beberapa kali menyampaikan keluhan tersebut. Namun
tanggapan yang diterima tidak memuaskan. Bahkan mereka sempat mendatangi DPRD Tk I Jabar untuk mengungkapkan keluhannya.

Kasus kedua yaitu soal sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan. Kasus
yang melibatkan pengusaha pribumi dan nonpri ini bahkan harus sampai ke
meja hijau, dengan keputusan hakim yang memenangkan pengusaha nonpri. Para mahasiswa dan pemuda Tasikmalaya ternyata cukup solider menanggapi kasus ini. Setiap kali kasus ini disidangkan di pengadilan, ratusan mahasiswa
dan pemuda menggelar aksi unjuk rasa.


Kasus ketiga tentang pencemaran limbah pabrik sabun Palem. Pencemaran ini
sempat diprotes masyarakat setempat beberapa kali. Namun protes tersebut
tetap tidak membuahkan hasil dan pencemaran terus berlangsung.

Maka, ada kaitannya atau tidak, Pangdam III Siliwangi Mayjen Tayo Tarmadi
menilai, kerusuhan beberapa waktu lalu telah dimanfaatkan oleh orang-orang
yang tidak puas terhadap kebijakan publik yang diambil Pemda Tasik. Itu
membuat kerusuhan makin melebar -- jauh dari persoalan kemarahan terhadap oknum polisi.

Munculnya ketimpangan sosial dan kebijakan publik yang menciptakan
kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil, menurut Tayo,
"Dapat diibaratkan sebagai tunas dari berbagai kemungkinan timbulnya
kerusuhan atau chaos. Apalagi jika Pemda tak melakukan pembenahan
kebijakan." "Hendaknya, kita camkan bahwa keberhasilan pembangunan itu
seyogyanya tidak menimbulkan kesenjangan terlalu jauh antara berbagai
kelompok masyarakat. Kebijakan publik, hendaknya juga jangan menciptakan
terbentuknya kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil,"
ujar Tayo.

Penilaian senada datang dari Komnas HAM. Menurut Komnas HAM, kerusuhan itu ada kaitannya dengan kesenjangan sosial dan ketimpangan dalam pengambilan kebijakan publik yang dilakukan Pemda setempat. "Kerusuhan itu terjadi antara lain karena adanya kesenjangan sosial. Masyarakat sebagian besar merasa ada sebagian kecil masyarakat yang ekonominya lebih baik, dan di antara mereka kurang diadakan interaksi," ujar salah seorang anggota Komnas HAM Albert Hasibuan.

Indikasi itu diperkuat dengan data para pelaku kerusuhan. "Sudah jelas
bahwa kebanyakan para pelaku kerusuhan ini adalah para pengangguran dan
garong,
" kata Tayo. Baik Pangdam III/Siliwangi maupun Gubernur Jabar
Nuriana menolak keterlibatan para santri dalam kerusuhan ini.





Berdasarkan data yang dimiliki Tayo, dari 173 pelaku yang ditangkap,
sebanyak 128 orang adalah pengangguran dan garong. "Mereka mempunyai waktu dan melihat ada kesempatan untuk mengambil keuntungan sembari melakukan perusakan," jelas Tayo. Maka, di keramaian massa yang mengamuk Kamis itu, 128 orang itu ditangkap ketika sedang memunguti barang-barang di toko yang mereka hancurkan.

Tapi mungkinkah, kalangan pengangguran itu mampu menggerakkan massa --yang menurut perhitungan petugas mencapai sekitar 20 ribu? "Siapa pun mereka, mereka memahami psikologi massa," ujar Tayo. Menurut jenderal yang hobi bertani itu para pelaku kerusuhan juga memakai taktik hit and run. "Setiap kali didesak aparat keamanan mereka mundur dan muncul lagi di tempat yang lain. Kita masih mencari siapa yang menjadi penggerak massa ini," jelas
Tayo.

Dandim 0612 Tasikmalaya Letkol Uyun M. Yunus mengakui, banyak titik rawan
di wilayahnya. Selanjutnya ia menuduh, "Kota Tasik termasuk daerah rawan
gerakan politik garis keras." Sebagai bukti ia menyebut potensi sisa-sisa
gerakan pada masa lalu, yang hingga kini menjadi bahaya laten di wilayah
Priangan Timur --Tasikmalaya, Garut, Ciamis. Apakah yang ia maksud wilayah
itu merupakan bekas basis Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo? Apa yang ia
maksud dengan gerakan politik garis keras?

2 komentar:

  1. 3 point yg ini kayanya terlalu di buat2 :
    Tiga masalah itu, menurut catatan Republika meliputi relokasi Pasar Baru,
    sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan antara pribumi dan non-pri, dan
    berlarut-larutnya masalah pencemaran limbah pabrik sabun.
    Contoh tentang relokasi pasar : yg beruntung justru Panitia Pasar & yg berwenang (nonpri tak ada yg masuk), waktu di pasar lama lokasinya di kelas 1, pindah ke pasar cikurubuk jadi kelas 4, kalau ingin mendapatkan tempat yg lebih baik harus "nego & beli" lagi ke pihak yg berwenang :-P

    BalasHapus
  2. Modus operandi yang relatif sama di semua daerah.

    BalasHapus