Pemberdayaan ekonomi dapat meredakan, bahkan memadamkan—kekerasan, ekstrimisme, dan radikalisme -- jika dilakukan secara konsisten dan sinambung. Zuhairi Misrawi, 34 tahun, Direktur Eksekutif Moderate Musim Society menyampaikan hal itu dalam diskusi terbatas Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), pada Jumat, 20 Mei malam, di Jakarta. “Kekerasan dan ekstrimisme sudah jadi profesi di Indonesia. Cara efektif meredamnya adalah lewat pemberdayaan ekonomi—dan, tentu saja, dialog yang terus-menerus,” ujarnya.
Berlangsung di gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Cikini, Jakarta Pusat, Zuhairi hadir bersama sosiolog Paulus Wirutomo sebagai pembicara Sarasehan ISKA memperingati Hari Kebangkitan Nasional—yang jatuh pada 20 Mei. Diskusi terbatas ini dihadiri sejumlah intelektual, perwakilan organisasi masa, profesional, dan sejumlah media—dengan topik “Radikalisme versus Nasionalisme.”
Zuhairi Misrawi, alumnus Universitas Al-Azhar Kairo yang dikenal sebagai tokoh muda moderat NU dan Paulus Wirutomo, 62 tahun, guru besar sosiologi di Universitas Indonesia berbicara dalam sesi berbeda. Tapi keduanya sepakat bahwa kemiskinan, kelaparan, diskriminasi ekonomi adalah akar utama kekerasan—termasuk kekerasan terhadap kebebasan beragama dan beribadah. “Pemberdayaan ekonomi merupakan jalan pintas (shortcut) meredakannya” Paulus menegaskan.
Zuhairi mencontohkan Ahmadiyah, yang relatif maju dari segi ekonomi. “Ini memicu kecemburuan—dan kekerasan terhadap kelompok itu. Ada faktor agama, tentu saja, tapi kecemburuan ekonomi pun menjadi pemicu,” kata Zuhairi. Salah satu hadirin, Herwami Taslim dari Law Office Taslim— juga anggota Dewan Penasehat ISKA--memberi analogi yang mengundang gelak riuh hadirin. “Dalam keadaan lapar, bunyi adzan mesjid, lonceng gereja, atau genta di kelenteng, akan sama terdengar di kuping,” ujarnya.
Taslim menuturkan pengalamannya menangani sejumlah pelaku kekerasan di Glodok, Jakarta Utara pasca reformasi, melalui pendekatan small economy. “Tidak perlu tinggi-tinggi. Melatih orang menjadi supir, tukang parkir, dan memberi kesempatan orang berjualan makanan dengan aman adalah langkah ekonomi konkrit untuk meredam kekerasan,” ujarnya. Dia sepakat dengan Zuhairi dan Paulus, kekerasan sebagai “profesi” kian marak di Indonesia—dan orang melakukannya untuk menyambung hidup.
Isu intoleransi banyak menarik perhatian peserta saat Zuhairi memaparkan temuan kasus sepanjang 2010. “Ada eskalasi intoleransi, terutama—pasca Reformasi 1998, “ ujar Zuhairi. Padahal, potensi toleransi amat tinggi jika dilihat dari realitas sosial masyarakat Indonesia yang majemuk. Jawa Barat mencatat posisi tertinggi intoleransi dengan 49 kasus—selama periode 2010, termasuk kekerasan terhadap kebebasan beragama dan beribadah. Yogyakarta, Bali, Sumatera Barat—masuk 3 dari 7 wilayah Indonesia paling toleran dengan hanya satu kasus. Januari 2010 menjadi bulan paling keras dengan 18 kasus. Sebaliknya April, Agustus, September 2010 “hanya” diwarnai 2 kasus intoleransi per bulan.
Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Muliawan Margadana menyatakan isu “Radikalisme versus Nasionalisme” sengaja dipilih untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. “Kekerasan dan radikalisme sudah menjadi patologi sosial kronis di tanah air kita,” dia memberi alasan.
Muliawan berharap dialog terbatas semacam ini dapat mengggugah kesadaran publik pada akar masalah kekerasan serta radikalisme. Dan,menumbuhkan semangat—terutama di kalangan cendekiawan Indonesia—berkontribusi secara konkrit dalam meredakan dan memadamkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar