Lanjutan Dari kerusuhan-mei-1998-part-1
Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di  jalan dan di tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam  rumah/bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan  adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara  bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan  kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Meskipun korban  kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian  besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei l998 lalu diderita  oleh perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun  bersifat lintas kelas sosial. 
Peristiwa kerusuhan tanggal 13-l5 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari  konteks dinamika sosial politik masyarakat Indonesia pada masa itu, yang  ditandai dengan rentetan peristiwa Pemilu 1997, krisis ekonomi, Sidang  Umum MPR RI Tahun 1998, demonstrasi simultan mahasiswa, penculikan para  aktivis dan tertembaknya mahasiswa Trisakti. Pada peristiwa inilah  rangkaian kekerasan yang berpola dan beruntun yang terjadi secara  akumulatif dan menyeluruh, dapat dilihat sebagai titik api bertemunya  dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang intensif yang  terpusat pada pertarungan politik tentang kelangsungan rezim Orde Baru  dan kepemimpian Presiden Suharto yang telah kehilangan kepercayaan  rakyat dan proses cepat pemburukan ekonomi.
Di bidang politik terjadi gejala yang mengindikasikan adanya  pertarungan faksi-faksi intra elit yang melibatkan kekuatan-kekuatan  yang ada dalam pemerintahan maupun masyarakat yang terpusat pada isu  penggantian kepemimpinan nasional. Hal ini tampak dari adanya faktor  dinamika politik seperti yang tampak dalam pertemuan di Makostrad  tanggal 14 Mei 1998 antara beberapa pejabat ABRI dengan beberapa tokoh  masyarakat, yang menggambarkan bagian integral dari pergumulan elit  politik. Di samping itu dinamika pergumulan juga tampak pada tanggung  jawab Letjen TNI Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis.
Analisa ini semakin dikuatkan dengan fakta terjadinya pergantian  kepemimpinan nasional satu minggu setelah kerusuhan terjadi, yang  sebelumnya telah didahului dengan adanya langkah-langkah ke arah  diberlakukannya TAP MPR No. V /MPR/1998.
Di bidang ekonomi terjadi krisis moneter yang telab mengakibatkan  membesarnya kesenjangan sosial ekonomi, menguatnya persepsi tentang  ketikdakadilan yang semakin akut dan menciptakan dislokasi sosial yang  luas yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antarkelas) dan  horizontal (antargolongan).
Di bidang sosial, akibat krisis bidang politik dan ekonomi, nampak  jelas gejala kekerasan massa yang eksesif yang cenderung dipilih sebagai  solusi penyelesaian masalah, misalnya dalam bentuk penjarahan di antara  sesama penduduk di daerah. Begitu pula adanya sentimen ras yang laten  dalam masyarakat telah merebak menjadi rasialisme terutama di kota-kota  besar. Di samping itu identitas keagamaan telah terpaksa digunakan oleh  sebagian penduduk sebagai sarana untuk melindungi diri sehingga  menciptakan perasaan diperlakukan secara diskriminstif pada golongan  agama lain. Mudah dipahami bahwa latar belakang kekerasan-kekerasan itu  telah menjadikan peristiwa penembakan mahawiswa Universitas Trisakti  sebagai pemicu kerusuhan berskala nasional.
Pada aras mikro (massa) dapat dianalisis bahwa dari satuan unit wilayah  (enam lokasi kota yang dipilih TGPF), terdapat beberapa kesamaan,  kemiripan, maupun variasi pola kerusuhan.
Pertama, di Jakarta pola umum kerusuhan terjadi dalam empat tahap, yaitu:
(a) tahap persiapan/pra perusakan meliputi aktivitas memancing  reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu, tong sampah,  barang bekas) dan atau dengan cara membuat perkelahian antar  kelompok/pelajar juga dengan meneriakan yel-yel tertentu untuk memanasi  massa/menimbulkan rasa kebencian seperti: "mahasiswa pengecut", "polisi  anjing;"
(b) tahap perusakan meliputi aktivitas seperti: melempar batu,  botol, mendobrak pintu, memecahkan kaca, membongkar sarana umum dengan  alat-alat yang dipersiapkan sebelumnya;
(c) tahap penjarahan meliputi seluruh aktivitas untuk mengambil barang atau benda-banda lain dalam gedung yang telah dirusak;
(d) tahap pembakaran yang merupakan puncak kerusuhan yang memberikan dampak korban dan kerugian yang paling besar.
Kedua, di Solo, TGPF menemukan fakta yang selain memberi petunjuk jelas mengenai keterlibatan  para preman termasuk organisasi pemuda setempat, juga dari kelompok  yang berbaju loreng dan baret merah sebagaimana yang digunakan kesatuan  Kopassus, dalam mengkondisikan terjadinya kerusuhan. Kasus-kasus  Solo, mengindikasikan keterkaitan antara kekerasan massa di tingkat  bawah dengan pertarungan elite di tingkat atas. 
Ketiga, Surabaya dan Lampung dan dikelompakkan menjadi satu kategori,  karena beberapa ciri yang serupa. Di kedua kota ini, kerusuhan relatif  berlangsung cepat dan segara dapat diatasi, skalanya relatif kecil  dengan korban dan kerugian yang tidak begitu parah. Sekalipun pada kasus  kedua kota ini juga didapati "penumpang gelap" (free rider) dan  provokator lokal tetapi keduanya menunjukkan lebih menonjol sifat lokal,  sporadis, terbatas, dan spontan.
Keempat, kasus Palembang lebih tidak bersifat spontan dibanding Surabaya  dan Lampung. Para "penumpang gelap" atau provokator lokal lebih  berperan dan mengarah pada kerusuhan terencana dan terorganisir dalam  skala yang lebih besar.
Kelima, sedangkan kasus Medan, unsur-unsur penggerak lokal dengan ciri  preman kota lebih menonjol lagi. patut diingat, bahwa kerusuhan di Medan  sudah terjadi sepekan sebelum kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998 di lima  kota lainnya, namun Medan merupakan titik awal rangkaian munculnya  secara nasional.
Dari uraian di atas, TGPF menemukan bahwa kerusuhan di Jakarta, Solo,  Medan mempunyai kesamaan pola. Sedangkan kerusuhan di Palembang secara  umum memiliki kesamaan dengan kerusuhan di Jakarta, Solo, Medan namun  memiliki ciri spesifik di mana provokator dan "penumpang gelap" sukar  dibedakan. Adapun kerusuhan yang terjadi di Lampung dan Surabaya, pada  hakekatnya menunjukkan sifat-sifat yang lokal, sporadis, terbatas dan  spontan.
Korban Kekerasan Seksual
1. Besarnya jumlah korban jiwa selama kerusuhan disebabkan oleh telah  terkumpulnya secara berpola terlebih dahulu jumlah massa yang besar  disekitar gedung-gedung pusat pertokoan yang kemudian pada awalnya  didorong memasuki gedung-gedung tersebut meninggal di dalam gedung yang  terbakar. Bahwa jumlah korban jiwa yang besar juga diakibatkan oleh  sangat lemahnya upaya penyelamatan, baik oleh masyarakat maupun  instansi/aparatur. Faktor kebakaran dan skala kerusuhan yang telah  terjadi merupakan penyebab utama dari kerugian materiil yang sangat  besar.
2. Dari segi intensitas kekerasan terhadap sebagian korban yang menjadi  sasaran serangan, dimensi sentimen anti rasial terhadap golongan etnik  Cina yang latent merupakan faktor penyebab dominan yang mudah  diekspolitir untuk menciptakan kerusuhan. Faktor lain yang telah  menyebabkan penyerangan terhadap kelompok etnis Cina karena penyerangan  awal yang ditujukan terhadap toko-toko dan rumah- rumah milik golongan  etnis tersebut yang terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu.
3. Kekerasan seksual telah terjadi selama kerusuhan dan merupkan satu  bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan  penderitaan yang dalam serta rasa takut dan trauma yang luas. Kekerasan  seksual terjadi karena adanya niat tertentu, paluang, serta pembentukan  psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan tersebut dilakukan  sehingga melipatgandakan terjadinya perbuatan tersebut.
4. Sosial Ekonomi. Tekanan dan kesenjangan sosial ekonomi yang  diperparah oleh kelangkaan bahan pokok yang dialami masyarakat, rawan  terhadap pengeksploatasian sehingga melahirkan dorongan-dorongan  destruktif untuk melakukan tindak-tindak kekerasan (perusakan,  pembakaran, penjarahan dan lain-lain). Sebagian besar mereka yang  terlibat ikut- ikutan dalam kerusuhan pada dasarnya adalah korban dari  keadaan serta struktur yang tidak adil. Mereka berasal dari lapisan  rakyat kebanyakan.
5. Adanya kesimpangsiuran di masyarakat tentang ada tidaknya serta  jumlah korban perkosaan timbul dari pendekatan yang didasarkan kepada  hukum positif yang mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya  tanda-tanda persetubuhan dan atau tanda-tanda kekerasan serta saksi dan  petunjuk. Di pihak lain, keadaan traumatis, rasa takut yang mendalam  serta aib yang dialami oleh korban dan keluarganya, membuat mereka tidak  dapat mengungkapkan segala hal yang mereka alami.
Dari korban kekerasan seksual, khususnya korban perkosaan yang berjumlah  14 orang, setelah diverifikasi terdapat dua kelompok korban ditinjau  dari sudut pendekatan positif dan empirik yaitu:
1. Fakta yang berasal dari korban langsung dan IDI yang berdasarkan sumpah jabatan dan Protokol Jakarta sebanyak 3 orang.
2. Fakta yang berasal dari keluarga korban, saksi, psikater/psikolog maupun rohaniwan/pendamping sebanyak 11 orang.
Dari temuan lapangan, banyak pihak yang berperan di semua tingkat, baik  sebagai massa aktif maupun provokator unytuk mendapatkan keuntungn  pribadi maupun kelompok atau golongan, atas terjadinya kerusuhan. Kesimpulan  ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai  dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya  keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam ABRI yang di luar  kendali dalam kerisuhan ini. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja  dari upaya secara sengaja untuk menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa.  Dalam konteks inilah, ABRI tidak cukup bertindak untuk mencegah  terjadinya kerusuhan, padahal memiliki tanggung jawab untuk itu. Di lain  pihak, kemampuan masyarakat belum mendukung untuk turut mencegah  terjadinya kerusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar