| Menguak Pelanggaran HAM di AS | 
Pemerintah  AS gencar memproses para penentang kebijakan Gedung Putih baik yang  meninggal, cidera maupun dipenjara. Sementara itu, mayoritas pengamat  menuding AS melakukan pelanggaran HAM di dalam negeri dan dunia. Dewan  HAM PBB sebagai lembaga yang menangani setiap isu pelanggaran HAM di  dunia hingga saat ini masih belum menyelidiki pelanggaran HAM di AS.  Namun demikian rencananya pada 5 November mendatang kasus HAM di AS  menjadi agenda di dewan ini.
Setelah  Dewan HAM PBB menyatakan akan menyelidiki kasus pelanggaran HAM di AS,  isu ini menjadi topik utama media dan pengamat. Bahkan berbagai seminar  terkait hal tersebut marak digelar di berbagai negara. Dalam beberapa  hari lalu tercatat tiga konferensi yang membahas rapor merah AS terkait  pelanggaran HAM yang dihadiri oleh para pengamat dari dalam dan luar  negeri di gelar di Iran. Para peserta menyebutkan berbagai pelanggaran  HAM yang dilakukan AS. Menurut mereka Washington bukan saja sebagai  negara pelanggar terbesar  HAM di dunia, bahkan eksistensi negara ini  dibentuk dengan merampas hak warga pribumi yaitu warga Indian. 
Ketua  pusat kajian internasional di Universitas Tehran, Dr. Mohammad Asghar  Khani di konferensi bertema "HAM dan AS" mengatakan,"Secara keseluruhan  AS adalah negara pelanggar HAM terbesar di dunia. Gedung Putih pun tak  segan-segan menganiaya penduduk pribumi, suku Indian. Contoh nyata  pelanggaran HAM AS terhadap suku Indian adalah adanya gugatan terhadap  Washington dari suku pribumi yang hingga kini masih berada di  pengadilan. Gugatan terkait kepemilikan tanah warga suku Indian ini  telah berusia 150 tahun."
Warga  kulit hitam keturunan Afrika adalah kelompok lain yang mendapat  perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah AS. Mereka diangkut dari  negaranya dan dikirim ke AS sebagai budak. Perlakuan tak manusiawi dan  kerja paksa di luar batas kemampuan manusia telah membuat banyak dari  para budak Afrika menemui ajal. Hingga saat ini warga kulit hitam AS  masih juga belum mendapat hak yang sama dengan warga kulit putih. Dewan  HAM PBB dalam laporan terbarunya mengisyaratkan kekejaman para polisi  Amerika terhadap warga kulit hitam.
Globalnya,  kaum minoritas di AS baik itu agama maupun etnis diperlakukan secara  diskriminatif. Khususnya etnis Muslim, kelompok ini dituding sebagai  teroris setelah peristiwa 11 September. Polisi dan dinas keamanan AS  dengan dalih keamanan nasional, berulang kali menangkap warga Muslim  tanpa alasan tertentu dan menjebloskannya ke penjara. Warga Muslim AS  kerap menjadi sasaran pelanggaran HAM oleh Gedung Putih. Mereka  senantisa dicurigai dan mengalami kesulitan untuk melaksanakan ritual  keagamaannya. Contoh nyata adalah masalah pembangunan masjid di New York  yang berdekatan dengan lokasi tragedi 11 September.
Undang-undang  Dasar AS menyebutkan kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia.  Namun pemerintah dan media massa AS sengaja melupakan hak ini. Di dalam  negeri, siapapun tidak berhak berbicara miring mengenai Zionis, bagi  mereka yang berani melanggar maka akan dikeluarkan dari tempat kerja  atau dikucilkan. Keluarganya pun tak luput dari aksi intimidasi.  Beberapa bulan lalu, Oktavia Nasser, editor televisi CNN dipecat  gara-gara memuji Allamah Fadlullah dan menyampaikan penghargaannya  terhadap marja Syiah Lebanon saat meninggal dunia.
Peristiwa  semacam ini kerap terjadi terhadap jurnalis dan wartawan yang  menyatakan rasa solidaritasnya kepada bangsa Palestina serta mengutuk  kejahatan rezim Zionis Israel. Sepertinya hal ini juga menyebabkan  Washington lebih memilih bungkam terhadap brutalitas Israel.
Di sisi  lain, di AS terdapat ratusan radio dan televisi serta koran yang  dilarang mengambil berita dari televisi al-Manar. Dr. Hossein Marandi,  anggota dewan ahli di universitas hubungan luar negeri Deplu Iran  menyebutkan sejumlah berkas pelanggaran HAM di Amerika. Ia menyatakan,  Sayid Mahmoud Mosavi warga Iran yang memiliki kewarganegaraan AS  dipenjara dengan tudingan membela Tehran. Sayid Mahmoud Mosavi di  penjara pun masih sempat menyumbang uang sebesar 2000 dolar bagi warga  tertindas Jalur Gaza.
Tindakan  manusiawi Sayid Mahmoud Mosavi ini bukannya mendapat penghargaan dari  Washington, malah ia disiksa karena membantu warga Palestina. Hal ini  membuktikan bahwa slogan membela HAM hanya propaganda Washington. Dr.  Ibrahim Mottaki, guru besar ilmu hubungan internasional di Universitas  Tehran menjelaskan, "Angka pelanggaran HAM di Amerika meningkat drastis  dalam sepuluh tahun terakhir di banding dengan era perang dingin serta  dekade 1990."
Komisaris  Tinggi HAM PBB dalam laporan terbarunya menyatakan kekhawatirannya atas  pelanggaran HAM di Amerika termasuk aksi penyiksaan terhadap para  tahanan, kekerasan polisi dan aksi diskriminasi. Dalam laporan tersebut  mayoritas warga yang menjadi korban adalah etnis minoritas, warga kulit  hitam, Muslim dan para imigran. Dewan HAM juga melaporkan, sejak tahun  2001 hingga saat ini tercatat 346 orang tewas akibat dihajar pentungan  polisi atau sengatan listrik.
Pemerintahan  Barat lainnya juga sama seperti AS, kerap melanggar hak asasi manusia  baik di dalam maupun luar negeri. Bedanya, AS di luar negeri lebih buas  lagi membantai manusia. Dr. Asghar Khani meyakini bahwa Washington  pertama kali melakukan pelanggaran HAM di dalam negeri dan kemudian  merembet ke kebijakan luar negeri. Ia mengatakan, sejak tahun 1949  hingga 2009 terjadi kudeta di berbagai negeri sebanyak 80 kali dengan  dukungan CIA. Selain itu, AS juga menggelar berbagai perang di negara  berkembang yang mengakibatkan tewasnya ratusan warga tak berdosa. Poin  penting yang diisyaratkan para peserta konferensi adalah upaya agitasi  media massa yang bekerja demi kepentingan pemerintah AS guna  menjustifikasi brutalitas militer negara itu.
Dr.  Mottaki mengatakan, setiap kali AS melakukan agitasi dan propaganda  media massa terkait pelanggaran HAM di sebuah kawasan, maka hal ini  adalah persiapan Washington untuk melakukan serangan militer. Dengan  kata lain, AS menyerbu sebuah negara dengan dalih memerangi terorisme  dan menegakkan demokrasi di seluruh negara. Nader Talibzadeh, produser  film dan pengamat politik menandaskan, "Jika media massa AS seperti CNN  dan Fox News tidak berusaha menyimpangkan opini publik dengan tipu  dayanya, maka berbagai peperangan di dunia tidak akan meletus dan  peluang perang di masa depan pun tidak akan terwujud."
Pelanggaran  HAM oleh AS di luar negeri memiliki dimensi luas dan salah satu  buktinya adalah aksi penyiksaan terhadap tahanan di Irak dan  Afghanistan. Menurut laporan berbagai organisasi internasional, AS  memiliki banyak penjara di luar negeri baik itu di Eropa maupun penjara  Abu Ghuraib di Baghdad. Di penjara-penjara ini, militer Amerika tak  segan-segan menyiksa para tahanan dengan beragam siksaan dan pelecehan  seksual. Komisaris Dewan HAM PBB melaporkan, AS saat ini memenjarakan  ribuan warga asing di penjaranya baik yang berstatus rahasia maupun  tidak. 
Amnesti  Internasional dalam laporannya juga menyebutkan adanya praktek  penyiksaan militer AS terhadap tahanan di penjara rahasia negara itu.  Lembaga ini menambahkan, Amerika terus melanjutkan tindakan tak  manusiawinya terhadap tahanan. Michael Hayden, Mantan Direktur CIA di  depan Senat membeberkan teknik-teknik rumit penyiksaan termasuk  Waterboarding.
 Kini  opini publik dunia tengah menanti hasil penyelidikan pelanggaran HAM di  Amerika di sidang Dewan HAM PBB 5 November mendatang. Dr. Mohammad Javad  Larijani, pengamat HAM asal Iran mengatakan, "Kami menyambut sidang  khusus Dewan HAM yang menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia di  Amerika, karena AS menganggap dirinya sebagai parameter HAM di dunia  dan tidak ada yang berhak mengungkit-ungkit kondisi HAM di negara itu.  Namun dengan digelarnya sidang ini maka tingkat pelanggaran HAM di AS  akan dikaji."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar