Nigeria  adalah salah satu negeri Muslim di Afrika yang paling sering  diperbincangkan di media massa. Sayangnya, lebih banyak perkara negatif  yang dikaitkan dengan negeri ini. Di antaranya adalah kerusuhan  massal—yang katanya—akibat penerapan syariat Islam, kemelaratan,  kriminalitas yang tingggi, tingkat korupsi nomor satu di dunia, kudeta  militer yang tidak pernah berhenti, dan statusnya sebagai gudang  narkoba. Apalagi negeri ini adalah negeri yang  lebih dari 50 persen penduduknya adalah Muslim. Sisanya, yakni 40 persen, adalah Kristen, dan 10 persennya belum beragama.  
Ironis  memang. Negeri yang mayoritas penduduknya Muslim dikategorikan sebagai  negeri miskin dan korup. Orang yang berpikir dangkal dan membenci Islam  boleh jadi  akan menuduh bahwa Islamlah yang menjadi akar penyebab semua persoalan di atas. 
Perlu dijelaskan kepada para ‘penuduh’ di atas, bahwa Nigeria—sebagaimana  sejumlah  negeri yang diklaim sebagai negara-negara Islam yang ada saat ini—yang  mayoritas berpenduduk Muslim bukanlah negeri yang menerapkan syariat  Islam. Artinya, kondisi buruk negara mereka tidak ada hubungan dengan  Islam. Negeri-negeri Islam yang melarat dan korup itu justru sebagian  besar merupakan negara sekular yang tidak menerapkan syariat Islam.  Kondisi di atas terjadi karena negeri-negeri tersebut, termasuk Nigeria, jauh dari syariat Islam.   
Nigeria  sesungguhnya adalah negeri yang kaya. Nigeria merupakan negara urutan  keenam penghasil minyak terbesar di dunia. Negeri ini setiap harinya  memproduksi dua juta barel minyak mentah. Indonesia, sebagai  perbandingan, hanya 1,3 juta barel. Gas alam negeri ini juga  melimpah-ruah. Yang lebih ironis, negeri ini termasuk negeri dengan  penduduk yang rata-rata melarat dan dengan utang luar negeri terbesar di  Afrika (25 miliar dolar). Negeri ini juga harus membayar bunga dan  cicilan utangnya sebesar 1,2 miliar dolar. Jika demikian, apa penyebab  semua keterpurukan negeri ini?
Korban Kapitalisme Global dan Para Jenderal Serakah
Apa  yang menimpa Nigeria sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan  negeri-negeri Islam yang lainnya. Alamnya kaya tetapi penduduknya  menderita. Sama halnya dengan  Indonesia. Penyebabnya adalah penerapan sistem kapitalisme  di  negeri-negeri tersebut yang merupakan warisan yang dipaksakan oleh para  penjajah mereka. Di bidang ekonomi, sistem kapitalisme  telah  mengundang investasi asing dari negara-negara kapitalis dengan alasan  untuk membangun negara yang baru merdeka. Tidak hanya itu, mereka juga  diberikan bantuan utang luar negeri dengan alasan yang sama: untuk  pembangunan. Pada kenyataannya, investasi asing dan utang luar negeri  ini merupakan alat negara-negara kaya untuk menjerat negara yang baru  merdeka tersebut. 
Nigeria mengalami hal yang sama. Atas dasar investasi  asing,  perusahan-perusahaan raksasa kapitalisme global—seperti Shell, patungan  Inggris-Belanda, Chevron (AS), dan Elf (Perancis) masuk ke Nigeria.  Perusahan ini menguras kekayaan alam Nigeria, sementara rakyatnya tetap  saja menderita. Penduduk Ogoni dan kelompok etnis lainnya menjadi  penonton yang melarat di daerah Delta Niger yang merupakan ladang migas  terbesar di Nigeria. Kondisi mereka sama melaratnya dengan orang Aceh,  Papua, dan Riau di tanah mereka yang kekayaannya dikeruk oleh perusahaan  asing. 
Kapitalisme global ini, dengan alasan keamanan investasi, kemudian bersekutu dengan jenderal-jenderal serakah. Akibatnya, uang  ‘pajak’ (yang jumlahnya sudah  sangat  kecil) yang diberikan oleh perusahaan tersebut masuk ke kantong-kantong  para penguasa militer yang ditransfer ke bank-bank asing. Bersamaan  dengan itu, ketika kontrol dan hukum tidak berfungsi, KKN pun merajela.  Perusahaan kapitalis ini tidak ambil pusing dengan kondisi seperti ini.  Bagi mereka, yang penting investasi mereka aman dan perusahaan mereka  untung, meskipun mereka harus bersekutu dengan para penguasa militer  yang kejam terhadap rakyatnya.  
Tidak  mengherankan jika kehidupan rakyat Nigeria semakin menderita.  Pendapatan perkapitanya yang tahun 1985 mencapai 2.500 USD melorot  menjadi 200 USD sepuluh tahun kemudian. Menyusul bangkrutnya ekonomi,  kriminalitas pun meningkat. Ditambah lagi dengan konflik antaretnis yang  tidak jarang mengatasnamakan agama. 
Meninggalnya  Presiden  Sani Abacha 8 Juni 1998 pada awalnya memberikan harapan pada rakyat  Nigeria. Rakyat yang sudah muak dengan rezim militer berharap  munculnya  pemerintahan yang demokratis. Keinginan itu terwujud saat diadakan  pemilu yang dimenangkan oleh Olusegun Obasanjo dengan 62,5 persen suara.  Namun ternyata, harapan tinggal harapan, demokrasi ternyata tidak  membawa banyak perubahan bagi  rakyat Nigeria.  Profesor Aluko, salah seorang ekonom Nigeria, bahkan mengatakan, bahwa  pemerintahan militer Jenderal Sani Abaca yang tidak demokratis jauh  lebih baik pengaturan ekonominya dibandingkan dengan pemerintahan  sekarang. Tawaran demokrasi malah menambah penderitaan masyarakat  Nigeria. Robert D. Kaplan menulis kondisi di Nigeria dengan mengatakan,  “Demokratisasi di Nigeria menyebabkan maraknya kekerasan etnis yang  kronis, yang tidak saja membungkam kebebasan individu, tetapi juga  membahayakan kehidupan kelompok.” 
Penderitaan  pun terus berlanjut. Kondisi yang menyedihkan ini mendorong kaum Muslim  di Negeria untuk melirik syariat Islam. Mereka melihat bahwa persoalan  korupsi, kriminalitas, dan KKN akan dapat  diselesaikan dengan syariat Islam. Pemerintah negara bagian Nigeria Utara lalu   memulainya dengan penerapan hukum  bagi  para pelaku kriminal pada bulan Februari 2001. Beberapa negara bagian  yang mayoritas Muslim pun menuntut hal yang sama. Beberapa kelompok muda  dan profesional negara bagian timur laut Nigeria mengatakan, bahwa  penerapan syariat Islam akan secara efektif mengendalikan tingginya  tingkat kriminalitas dan persoalan lainnya.  Gubernur Ahmad Sanim, dalam wawancaranya dengan BBC, mengatakan, “Islam adalah akidah dan  kepercayaan. Bagi orang yang beriman, hanya akidah itulah yang menentukan mana perkara yang salah mana yang benar.” (BBC, Kcom, 22/03/2002). 
Pemberlakuan  sebagian syariat Islam ini kemudian memicu protes dari masyarakat  non-Muslim yang sebagian besar berada di Selatan. Bahkan, kebijakan  tersebut sampai menimbulkan kerusuhan yang banyak menimbulkan korban  jiwa. Namun demikian, tidak sedikit pengamat yang melihat pemicu  sesungguhnya bukanlah masalah penerapan syariat Islam, tetapi karena  pihak militer yang tidak puas dengan kebijakan Obansanjo. Pasalnya,  kebijakan ‘pemerintahan yang bersih’ yang dicanangkan Obasanjo akan  merugikan kepentingan  dan aset ekonomi yang  selama ini didapat pihak militer. Apalagi Obasanjo juga mengusulkan  pengurangan jumlah angkatan bersenjata menjadi setengahnya (30.000  personil), pengetatan anggaran militer, dan pengusutan pelanggaran HAM  di masa yang lalu. Pengamat tersebut mengatakan, bahwa pihak militerlah  yang memprovokasi berbagai kerusuhan di atas.
Pihak  Kristen pun tampaknya ikut bermain ddi balik berbagai kerusuhan di  Nigeria. Memang, sejak dulu konflik antara Islam dan Kristen terus  berlangsung. Konflik sering terjadi terutama setelah masa penjajahan  Inggris yang  menjadikan pihak Kristen sebagai  alat untuk mendominasi Nigeria dan mencegah kebangkitan kelompok Islam.  Campur tangan asing ini telah turut memprovokasi berbagai kerusuhan di  Nigeria. 
Tidak  hanya itu, penerapan syariat Islam di Negeria juga telah dijadikan isu  internasional oleh negara-negara Barat untuk menyudutkan hukum Islam.  Ini tampak, misalnya, dari adanya berbagai reaksi terhadap keputusan  hukuman rajam sampai mati Pengadilan Syariah di Negara Bagian Katsina.  Hukuman rajam itu jatuhkan  pada Hari Selasa 20  Agustus 2002 terhadap Amina Lawal yang terbukti telah berzina. LaShawn  R, Direktur Eksekutif Human Right Watch, divisi hak-hak wanita,  memberikan komentar, “Hukum itu digunakan untuk menghukum wanita dewasa  akibat hubungan seks yang suka sama suka.”
Parlemen  Eropa juga mengajukan kecaman terhadap penerapan hukum Islam atas  Safiya Hussaini Tunggar Tudu yang dihukum rajam karena berzina oleh  pengadilan di Gwadabawa (Negara Bagian Skoto).
Ironisnya,  Barat hanya berdiam diri terhadap kemiskinan rakyat Nigeria—yang lebih  dari 45 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan—akibat  penjajahan kapitalisme mereka. Barat tidak  melakukan  apa-apa saat krimininalitas dan pertikaian antar etnis meningkat di  negeri itu. Barat juga tidak mempunyai solusi untuk menghentikan  perkembangan penyakit AIDS di negeri itu—tentu saja akibat seks bebas  yang ditularkan oleh peradaban mereka ke Nigeria. Padahal, lebih dari  2,7 juta rakyat Nigeria mengidap penyakit AIDS; 250.000 orang di  antaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Yang dilakukan oleh Barat  hanyalah mengeruk kekayaan alam Nigeria. Saat kaum Muslim kembali kepada  hukum Allah, mereka mengatakan hukum Allah tersebut barbar dan kejam.  Padahal, syariat Islam akan menyelesaikan seluruh persoalan manusia. 
Pentingnya Kesadaran Politik
Tampaknya,  upaya penyadaran syariat Islam di tengah-tengah masyarakat, termasuk  non-Muslim, harus lebih dikampanyekan di Nigeria. Gampangnya terjadi  provokasi berkaitan dengan syariat Islam menunjukkan belum utuhnya  pemahaman rakyat Nigeria tentang syariat Islam. Misalnya, penerapan  sebagian syariat Islam  dalam masalah kriminal  jelas tidak akan menyelesaikan persoalan Nigeria secara keseluruhan.  Demikian juga syariat Islam yang dibatasi hanya untuk negara bagian  tertentu dan bagi kaum Muslim saja.
Karena itu, perlu penyadaran tentang dua perkara: (1) kewajiban penerapan syariat Islam secara kaffah  (termasuk bagi non-Muslim); (2) keniscayaann bahwa syariat Islam akan  menyelesaikan masalah Nigeria secara total—termasuk memberikan kebaikan  kepada non-Muslim—harus semakin digencarkan. Sebab, memang hanya syariat  Islamlah yang akan menyelamatkan negeri Afrika tersebut. 
Islam  adalah solusi yang sesuai untuk Nigeria dan juga negeri-negeri lain,  termasuk bagi non-Muslim. Allah Swt. juga telah menyatakan bahwa  penerapan Islam  akan memberikan rahmat bagi  seluruh alam, termasuk orang-orang non-Muslim (QS al-Anbiya [21]: 107).  Orang-orang non-Muslim yang menjadi ahlul dzimmah memiliki hak dan kewajiban yang sama  di  mata Islam. Sebab, mereka dianggap sama-sama merupakan warga negara  Daulah Khilafah Islamiyah. Orang-orang non-Muslim akan diberikan jaminan  pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan), kesehatan,  keamanan, dan pendidikan oleh negara. Mereka juga tidak dipaksa untuk  masuk Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Kehidupan mereka akan sejahtera  sebagaimana kaum Muslim. Tidak mengherankan kalau T.W Arnold, dalam  bukunya, The Preaching of Islam, menggambarkan bagaimana pihak  pendeta Nasrani dan Yahudi bisa menjalankan ibadah ritual mereka tanpa  diganggu oleh Negara Islam. Masih banyaknya pemeluk Kristen di Timur  Tengah hingga saat ini merupakan bukti teloransi yang diberikan oleh  Islam kepada orang-orang non-Muslim. 
Islam  juga memberikan solusi bagi krisis kesukuan yang terjadi di Nigeria  saat ini. Demikianlah sebagaimana Rasulullah berhasil menyelesaikan  problem kesukuan masyarakat Arab 1400 tahun yang lalu. Krisis ekonomi  akibat keserakahan kapitalisme juga akan dapat diselesaikan dengan  Islam, antara lain dengan pengaturan masalah kepemilikan. Minyak bumi  dan gas yang berlimpah-ruah di Nigeria sesungguhnya adalah milik umum (milkiyah ‘âmah)  yang hasilnya harus diserahkan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk  perusahaan-perusahaan kapitalis Barat dan para jenderal serakah  seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar