"Tentara Merah tidak hanya membela kemerdekaan negaranya sendiri,  tetapi juga akan mendukung pembebasan seluruh umat manusia dari ancaman  fasisme"
(Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi I)
Kemenangan Uni  Soviet didalam menghadapi Nazi Jerman tidak terlepas dari kegagalan  Nazi Jerman menghadapi Uni Soviet di Front Timur. Pada Perang Dunia II,  Perang Front Timur adalah medan perang yang mencakup konflik di Eropa  Tengah dan Eropa Timur. Beberapa sumber menyertakan pula Perang  Jerman-Polandia pada tahun 1939 dalam medan Perang Dunia II ini. Konflik  ini menyebabkan bangkitnya Uni Soviet sebagai negara adidaya militer  dan industri, pendudukan Eropa Timur oleh Soviet, serta pembagian  Jerman.
Dalam catatan sejarah Rusia dan Uni Soviet, konflik ini  disebut sebagai Perang Patriotik Besar (Великая Отечественная Война,  Velikaya Otechestvennaya Voyna). Nama yang mengacu pada Perang Patriotik  Kekaisaran Rusia-Napoleon di tanah Rusia pada tahun 1812. Istilah  Perang Patriotik Besar muncul di harian Soviet, Pravda, sehari setelah
Hitler  menginvasi Uni Soviet, dalam sebuah artikel berjudul "Perang Patriotik  Besar Rakyat Soviet" (bahasa Rusia: Великая Отечественная война  cоветского народа). Istilah "perang melawan agresi" digunakan Uni Soviet  sebelum Amerika Serikat dan Jepang terlibat.
Perang Patriotik  Besar dimulai pada 22 Juni 1941, ketika Jerman menyerang wilayah  Polandia yang diduduki Soviet, dan berakhir pada 8 Mei 1945, ketika  angkatan bersenjata Jerman menyerah tanpa syarat setelah Pertempuran  Berlin. Jerman mampu meminta bantuan tenaga dari beberapa Negara Poros,  Rumania, Hungaria, Bulgaria, Slovakia, dan
Italia untuk menolong  mereka di front dan wilayah-wilayah yang mereka duduki. Mereka  mendapatkan bantuan dari sejumlah partisan anti-komunis di Ukraina dan  Estonia. Finlandia yang anti-Soviet — saat itu baru saja berperang  dengan Uni Soviet — juga berada di pihak Jerman. Selain itu, terdapat  divisi Spanyol yang dikirim diktator Spanyol, Franco, agar hubungannya  dengan negara-negara Poros tetap utuh. Uni Soviet mendapatkan bantuan  dari kaum partisan di banyak negara di Eropa Timur, khususnya yang  berada di Polandia dan Yugoslavia. Selain itu, Tentara Polandia Pertama  dan Tentara Polandia Kedua, yang dipersenjatai dan dilatih Uni Soviet,  berjuang bersama dengan Tentara Merah di front.
Dibandingkan  dengan medan perang lainnya dalam Perang Dunia II, Front Timur jauh  lebih besar dan berdarah serta mengakibatkan 25-30 juta orang tewas. Di  Front Timur terjadi lebih banyak pertempuran darat daripada semua front  pada Perang Dunia II. Karena premis ideologi dalam perang, pertempuran  di Front Timur mengakibatkan kehancuran besar. Bagi anggota Nazi garis  keras di Berlin, perang melawan Uni Soviet merupakan perjuangan melawan  komunisme dan ras Arya melawan ras Slavia yang lebih rendah. Dari awal  konflik, Hitler menganggapnya sebagai "perang pembinasaan".
Perang  ini mengakibatkan kerugian besar dan penderitaan di antara warga sipil  dari negara-negara yang terlibat. Di belakang garis depan, kekejaman  terhadap warga sipil di wilayah-wilayah yang diduduki Jerman sudah biasa  terjadi, termasuk Holocaust orang-orang Yahudi. Dua puluh juta warga  sipil terbunuh atau meninggal karena penyakit, kelaparan dan siksaan.  Setelah perang, penduduk Jerman di Prusia Timur dan Silesia dipindahkan  ke sebelah barat dari Garis Oder-Neisse.
Kekalahan Jepang di Timur Jauh
Pemerintah  Soviet menyatakan perang dengan Jepang setelah Tokyo menolak untuk  menyerah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang termaktub di dalam  Deklarasi Postdam. Pada 6 Agustus 1945, atas perintah Presiden Truman,  AS menjatuhkan bom atom pertama di kota berpenduduk padat Hiroshima,  tetapi pihak Jepang menyadari bahwa akan sia-sia melanjutkan perang  setelah Uni Soviet memasuki kancah peperangan tersebut. Kaisar Hirohito,  dalam amanatnya kepada tentara darat dan laut Jepang berkata, "Kini  dengan turut sertanya Uni Soviet berperang melawan kita, perlawanan kita  selanjutnya (terhadap Sekutu) akan membahayakan eksistensi Kekaisaran."
Pasukan  Soviet dengan cepat mengalahkan pasukan Jepang di Manchuria, Korea  bagian utara, Sakhalin Selatan dan Kepulauan Kuril. Semua ini mendorong  Jepang untuk segera bertekuk lutut (kepada Sekutu). Dalam pertempuran  yang berlangsung selama 23 hari itu, pasukan Soviet menghancurkan 22  divisi pasukan Jepang dan menimbulkan korban di pihak Jepang sebanyak  677.000 orang, termasuk 84.000 yang tewas dalam pertempuran. Pasukan  Soviet juga menyita sekira 3.700 pucuk senjata, 600 buah tank, 861  pesawat udara, 12.000 pucuk senapan mesin serta 2.000 kendaraan lainnya.
Porak-porandanya  Pasukan Darat Kwantung (milik Jepang) akibat serangan Soviet itu  menggagalkan rencana Jepang untuk mengirimkan divisi pilihannya itu  untuk melawan pasukan AS dalam suatu pertempuran penentuan. Rencana  Jepang untuk memindahkan pemerintahan Jepang ke Manchuguo di Tiongkok,  seandainya tentara AS menduduki Tokyo, juga gagal.
Negara-negara  dan pemerintahan-pemerintahan di seluruh dunia menyambut gembira atas  peran Uni Soviet di Timur Jauh. Para pemimpin dunia Barat mengakui  pentingnya deklarasi perang Soviet terhadap Jepang. Pernyataan  pemerintah Inggris berbunyi, "Deklarasi Perang Uni Soviet kepada Jepang  membuktikan solidaritas antara pihak Sekutu." Harian The New York Herald  Tribune AS, dalam tajuknya menulis, antara
lain, "Mereka yang  mempelajari secara objektif harus mengakui bahwa Uni Soviet, dengan  kekuatan militernya yang telah memorak-porandakan sebagian pasukan  Jepang dan telah membantu mempercepat berakhirnya Perang Dunia II,  memperlancar kemenangan rakyat Tiongkok dalam melawan penindasan pasukan  Jepang serta membantu melahirkan kemerdekaan yang telah lama  dinanti-nantikan bangsa-bangsa di Asia bagian timur dan tenggara, dan  sekaligus mencegah kematian yang lebih banyak serta penderitaan yang  lebih buruk bagi bangsa Jepang.
Rusia dan Indonesia
Bung  Karno mengatakan berulang kali, ide nasionalismenya berpadu dengan  internasionalisme. Hal itu antara lain dibuktikan dengan jelas oleh  sikap Bung Karno terhadap Uni Soviet. Orang Rusia sampai saat ini  mengingat dengan rasa terima kasih bagaimana pada tahun 1941 Bung Karno  yang pada waktu itu diasingkan ke Bengkulu, dalam artikelnya di koran  Pemandangan menyatakan keyakinannya terhadap kemenangan Tentara Merah  (Soviet) melawan pasukan Hitler.
Bung Karno menulis, "Tentara  Merah tidak hanya membela kemerdekaan negaranya sendiri, tetapi juga  akan mendukung pembebasan seluruh umat manusia dari ancaman fasisme".  Pandangan Bung Karno mencerminkan ideologi seluruh gerakan pembebasan  nasional Indonesia. Sikap Uni Soviet pada masa perjuangan kemerdekaan  rakyat Indonesia ialah meyakinkan Bung Karno bahwa Uni Soviet adalah  kekuatan yang dapat
diandalkan Indonesia dalam mempertahankan  kepentingan nasionalnya. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno juga,  pada saat Sidang Gabungan Diperluas Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional  dan Komite Tetap Dewan Nasional Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat  Tiongkok pada tanggal 4 Oktober 1956 bahwa, "peperangan itu  kadang-kadang muncul sesuatu hal yang mereka tidak duga-duga dan  sangka-sangka".
Dalam pidato tersebut, Bung Karno juga mengatakan  bahwa "Ada seorang ahli filsafat yang berkata : War is a strange  alchemist (Peperangan adalah seorang alkemis yang aneh sekali). Ia,  memang aneh jika ditinjau akan hasilnya. Ya, War is a strange alchemist,  peperangan adalah seorang alkemis yang aneh sekali. Peperangan tahun  1904-1905 antara Rusia dan Jepang melahirkan revolusi tahun 1905 yang  oleh Lenin dikatakan the
general rehearsal dari Revolusi Rusia.  Peperangan dunia yang pertama antara tahun 1914-1948. Apa yang  dilahirkan oleh peperangan dunia yang kedua? Yang dibangunkan oleh  peperangan dunia yang kedua ini ialah, terbangunnya makin banyak  negara-negara sosialis dan menjadinya merdeka banyak sekali  bangsa-bangsa di Asia dan Afrika".
Adalah sewajarnya Bung Karno  merintis jalan yang mendekatkan hubungan Uni Soviet dan Indonesia. Dalam  amanatnya kepada para pemimpin Uni Soviet, November 1945, beliau  membenarkan keyakinanya bahwa Rusia, yang telah menempuh jalan  perkembangan demi kemerdekaan, keadilan, dan keperimanusiaan sekarang  menjadi salah satu Negara dunia yang terbesar, yang tetap setia pada  cita-cita tersebut. Pada tahun 1946, dalam pidato pada rapat 1 Mei di  ibukota sementara Republik Indonesia Yogyakarta, beliau menyatakan  tentang kesediaan Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Rusia.  Pada bulan Desember 1947, Presiden Soekarno memberikan wewenang kepada  utusan khusus Suripno memulai perundingan dengan perwakilan Uni Soviet,  mengenai penandatanganan persetujuan yang bersangkutan. Bulan Mei tahun  berikutnya, Suripno dan Duta Besar Uni Soviet untuk Chekoslowakia M.  Silin, menyepakati ditegakkannya hubungan tingkat konsul. Namun  demikian, para wakil
partai sayap kanan yang waktu itu berkuasa di  Jakarta menggagalkan terwujudnya kesepakatan tersebut. Pertukaran  tingkat kedutaan antara Moskow dan Jakarta baru berlangsung setelah  pemerintah Ali Sastroamidjoyo, kawan setia seperjuangan Bung Karno,  mulai berkuasa pada tahun 1954.
Dukungan Rusia kepada Indonesia  menjamin penyelesaian sengketa Irian Barat antara Indonesia-Belanda.  Setelah penjajakan kemungkinan pembelian senjata Eropa dan Amerika  Serikat gagal, pemerintah Indonesia memulai perundingan dengan Uni  Republik-republik Sosialis Soviet yang berakhir dengan penyuplaian kapal  militer, pesawat terbang, persenjataan Angkatan Darat ke Indonesia.  Kebulatan tekad Indonesia dengan harga yang mahal merebut kembali Irian  Barat, meningkatnya kekuatan militer berkat bantuan Soviet kepada  Republik Indonesia, dukungan luas internasional kepada Jakarta oleh  masyarakat dunia, memaksa penjajah menyerahkan wilayah itu ke pangkuan  Indonesia pada 1 Mei 1963.
Setelah ditegakkannya di Indonesia  Rezim Orde Baru pada tahun 1965, hubungan Rusia-Indonesia menjadi  renggang. Sekarang masa-masa itu sudah menjadi sejarah. Tradisi kaya  hubungan Rusia-Indonesia yang sudah pulih kembali menamkan rasa optimis  dan harus mendapat kelanjutan yang sepatutnya di masa depan.
Referensi :
1. Alexei Drugov, Presiden Soekarno dan Uni Soviet, Kompas, Rabu, 6 Juni 2001
2. Anatoly Koshkin, Peran Soviet Akhiri Perang Dunia II, RIA Novosti
3. Genocide's Ghosts, TIME Magazine, 16 Januari 2008
4. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi I
5. Yuri Sholmov, Bung Karno, Sambut Kami Saudara-saudara, Jurnal Forum International No. 8/2007,Hal. 59-60
6. Wikipedia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar