Kehadiran Nazi di Indonesia yang Terlupakan
BERKECAMUKNYA Perang Dunia II Teater Asia-Pasifik, yang terjadi di   Indonesia, diwarnai kehadiran pasukan Nazi Jerman. Aksi mereka dilakukan   usai menyerahnya Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang, 8 Maret   tahun 1942, atau 64 tahun silam. Namun, kehadiran Nazi Jerman ke   Indonesia seakan terlupakan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Kehadiran pasukan Nazi Jerman di Indonesia, secara umum melalui aksi   sejumlah kapal selam (u-boat/u-boote) di Samudra Hindia, Laut Jawa,   Selat Sunda, Selat Malaka, pada kurun waktu tahun 1943-1945. Sebanyak 23   u-boat mondar-mandir di perairan Indonesia, Malaysia, dan Australia,   dengan pangkalan bersama Jepang, di Jakarta, Sabang, dan Penang, yang   diberangkatkan dari daerah pendudukan di Brest dan Bordeaux (Prancis)   Januari-Juni 1943.
Beroperasinya sejumlah u-boat di kawasan Timur Jauh, merupakan perintah   Fuehrer Adolf Hitler kepada Panglima Angkatan Laut Jerman   (Kriegsmarine), Admiral Karl Doenitz. Tujuannya, membuka blokade lawan,   juga membawa mesin presisi, mesin pesawat terbang, serta berbagai   peralatan industri lainnya, yang dibutuhkan "kawan sejawatnya", Jepang   yang sedang menduduki Indonesia dan Malaysia. Sepulangnya dari sana,   berbagai kapal selam itu bertugas mengawal kapal yang membawa   "oleh-oleh" dari Indonesia dan Malaysia, hasil perkebunan berupa karet   alam, kina, serat-seratan, dll., untuk keperluan industri perang Jerman   di Eropa.
Pada awalnya, kapal selam Jerman yang ditugaskan ke Samudra Hindia   dengan tujuan awal ke Penang berjumlah 15 buah, terdiri U-177, U-196,   U-198, U-852, U-859, U-860, U-861, U-863, dan U-871 (semuanya dari Type   IXD2), U-510, U-537, U-843 (Type IXC), U-1059 dan U-1062 (Type VIIF).   Jumlahnya kemudian bertambah dengan kehadiran U-862 (Type IXD2), yang   pindah pangkalan ke Jakarta.
Ini disusul U-195 (Type IXD1) dan U-219 (Type XB), yang mulai   menggunakan Jakarta sebagai pangkalan pada Januari 1945. Sejak itu,   berduyun-duyun kapal selam Jerman lainnya yang masih berpangkalan di   Penang dan Sabang ikut pindah pangkalan ke Jakarta, sehingga Jepang   kemudian memindahkan kapal selamnya ke Surabaya.
Adalah U-862 yang dikomandani Heinrich Timm, yang tercatat paling sukses   beraksi di wilayah Indonesia. Berangkat dari Jakarta dan kemudian   selamat pulang ke tempat asal, untuk menenggelamkan kapal Sekutu di   Samudra Hindia, Laut Jawa, sampai Pantai Australia.
Nasib sial nyaris dialami U-862 saat bertugas di permukaan wilayah   Samudra Hindia. Gara-gara melakukan manuver yang salah, kapal selam itu   nyaris mengalami "senjata makan tuan", dari sebuah torpedo jenis  homming  akustik T5/G7 Zaunkving yang diluncurkannya. Untungnya, U-862  buru-buru  menyelam secara darurat, sehingga torpedo itu kemudian  meleset.
Usai Jerman menyerah kepada pasukan Sekutu, 6 Mei 1945, U-862 pindah   pangkalan dari Jakarta ke Singapura. Pada Juli 1945, U-862 dihibahkan   kepada AL Jepang, dan berganti kode menjadi I-502. Jepang kemudian   menyerah kepada Sekutu, Agustus tahun yang sama. Riwayat U-862 berakhir   13 Februari 1946 karena dihancurkan pasukan Sekutu di Singapura. Para   awak U-862 sendiri semuanya selamat dan kembali ke tanah air mereka   beberapa tahun usai perang.
Ternyata perwira kapal dari U-Boot ini meluncur ke Indonesia dibawah   komando Angkatan Laut, Karl Doenitz. Tujuan utama pemindahan perwira   kapal selam U-Boot di Indonesia untuk membantu sekutu jauh Nazi, Jepang.   Namun seiring Jepang ditaklukan USA, para perwira angkatan laut ini   tinggal di Bogor.
Usai Jerman menyerah kepada Sekutu di Eropa pada 8 Mei 1945, berbagai   kapal selam yang masih berfungsi, kemudian dihibahkan kepada AL Jepang   untuk kemudian dipergunakan lagi, sampai akhirnya Jepang takluk pada 15   Agustus 1945 usai dibom nuklir oleh Amerika.
Setelah peristiwa itu, sejumlah tentara Jerman yang ada di Indonesia   menjadi luntang-lantung tidak punya kerjaan. Orang-orang Jerman   mengambil inisiatif agar dapat dikenali pejuang Indonesia dan tidak   keliru disangka orang Belanda. Caranya, mereka membuat tanda atribut   yang diambil dari seragamnya dengan menggunakan lambang Elang Negara   Jerman pada bagian lengan baju mereka.
Para tentara Jerman yang tadinya berpangkalan di Jakarta dan Surabaya,   pindah bermukim ke Perkebunan Cikopo, Kec. Megamendung, Kab. Bogor.   Mereka semua kemudian menanggalkan seragam mereka dan hidup sebagai   "warga sipil" di sana.
Pengamat sejarah militer Jerman di Indonesia, Herwig Zahorka,   mengisahkan, pada awal September 1945 sebuah Resimen Ghurka-Inggris di   bawah komandan perwira asal Skotlandia datang ke Pulau Jawa. Mereka   kaget menemukan tentara Jerman di Perkebunan Cikopo.
Sang komandan bertanya kepada Mayor Angkatan Laut Jerman, Burghagen yang   menjadi kokolot di sana, untuk mencari tempat penampungan di Bogor.
Menggunakan 50 truk eks pasukan Jepang, orang-orang Jerman di Perkebunan   Cikopo itu dipindahkan ke tempat penampungan di Bogor. Namun mereka   harus kembali mengenakan seragam mereka, memegang senjata yang   disediakan pasukan Inggris, untuk melindungi tempat penampungan yang   semula ditempati orang-orang Belanda.
Saat itu, menurut dia, di tempat penampungan banyak orang Belanda yang   mengeluh, karena mereka "dijaga" oleh orang Jerman. "Pada malam hari   pertama menginap, langsung terjadi saling tembak namun tak ada korban.   Ternyata,orang-orang Indonesia menyangka orang Jerman telah tertangkap   oleh pasukan.Sekutu, dan mereka berusaha membebaskan orang-orang Jerman   itu," kata Zahorka.
Setelah peristiwa itu, Inggris menyerahkan sekira 260 tentara Jerman   kepada Belanda yang kemudian ditawan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.
Tercatat pula, beberapa tentara Jerman melarikan diri dari Pulau Onrust,   dengan berenang menyeberang ke pulau lain. Di antaranya, pilot pesawat   angkatan laut bernama Werner dan sahabatnya Lvsche dari U-219.
Selama pelarian, mereka bergabung dengan pejuang kemerdekaan Indonesia   di Pulau Jawa, bekerja sama melawan Belanda yang ingin kembali menjajah.   Lvsche kemudian meninggal, konon akibat kecelakaan saat merakit   pelontar api.
Ini juga cuplikan wawancara dari "saksi hidup" yang menghadiri pemakaman perwira Nazi tersebut :
Warga Kampung Arca Domas, Abah Sa'ad (76 th), seorang saksi hidup   peristiwa penguburan tentara Jerman di kampungnya, Oktober 1945. Saat   itu, usianya 15 tahun. Ia ingat, prosesi pemakaman dilakukan puluhan   tentara Nazi Jerman secara kemiliteran. Peristiwa itu mengundang   perhatian warga.
"Waktu itu, masyarakat tidak boleh men-dekat. Dari kejauhan, tampak   empat peti mati diusung tentara Jerman, serta sebuah kendi yang katanya   berisi abu jenazah. Tentara Jerman itu berpakaian putih, dengan  dipimpin  seorang yang tampaknya komandan mereka karena menggunakan topi  pet,"  tuturnya.
Sepengetahuan Abah Sa'ad, mulanya, makam tentara Jerman itu hanya   ditandai nisan salib biasa, sampai kemudian ada yang memperbaiki makam   itu seperti sekarang.
Keasrian dan kebersihan makam tersebut tidak lepas dari peran penunggu   makam, Mak Emma (65) yang dibiayai Kedubes Jerman dua kali setahun. "   Biasanya, setiap tahun ada warga Jerman yang menjenguk makam pahlawan   negaranya itu," ujarnya.
Namun, dia kurang tahu sejarah makam itu karena baru diboyong suaminya   (pensiunan karyawan Perkebunan Gunung Mas) 10 tahun lalu. Ia meneruskan   pekerjaan suaminya (alm.) menjadi kuncen.
Selama di Asia Tenggara, mereka melindungi Indonesia dari gempuran kapal   perang sekutu. Karena kerugian yang ditimbulkan oleh U-Boot ini sangat   menguntungkan Indonesia. Dan juga, mesin tik yang dipakai Sayuti Melik   untuk mengetik naskah proklamasi adalah mesin tik Angkatan Laut Nazi 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar