Di abad ke-20, teori evolusi telah terbantahkan tidak hanya oleh ilmu biologi molekuler, tapi juga oleh paleontologi, yakni ilmu tentang fosil. Tidak ada sisa fosil yang mendukung evolusi yang pernah ditemukan dalam penggalian yang dilakukan di seluruh penjuru dunia
Fosil adalah sisa jasad makhluk hidup yang pernah hidup di masa lampau. Bentuk dan susunan kerangka makhluk hidup, yang tubuhnya segera terlindungi dari sentuhan udara, dapat terawetkan secara utuh. Sisa kerangka ini memberi kita keterangan tentang sejarah kehidupan di bumi. Jadi, catatan fosil lah yang memberikan jawaban ilmiah terhadap pertanyaan seputar asal usul makhluk hidup.
PENDAPAT DARWIN
Teori evolusi menyatakan bahwa semua makhluk hidup yang beraneka ragam berasal dari satu nenek moyang yang sama. Menurut teori ini, kemunculan makhluk hidup yang begitu beragam terjadi melalui variasi-variasi kecil dan bertahap dalam rentang waktu yang sangat lama. Teori ini menyatakan bahwa awalnya makhluk hidup bersel satu terbentuk. Selama ratusan juta tahun kemudian, makhluk bersel satu ini berubah menjadi ikan dan hewan invertebrata (tak bertulang belakang) yang hidup di laut. Ikan-ikan ini kemudian diduga muncul ke daratan dan berubah menjadi reptil. Dongeng ini pun terus berlanjut, dan seterusnya sampai pada pernyataan bahwa burung dan mamalia berevolusi dari reptil.
Seandainya pendapat ini benar, mestinya terdapat sejumlah besar “spesies peralihan” (juga disebut sebagai spesies antara, atau spesies mata rantai) yang menghubungkan satu spesies dengan spesies yang lain yang menjadi nenek moyangnya. Misalnya, jika reptil benar-benar telah berevolusi menjadi burung, maka makhluk separuh-burung separuh-reptil dengan jumlah berlimpah mestinya pernah hidup di masa lalu. Di samping itu, makhluk peralihan ini mestinya memiliki organ dengan bentuk yang belum sempurna atau tidak lengkap. Darwin menamakan makhluk dugaan ini sebagai “bentuk-bentuk peralihan antara”.
Skenario evolusi juga mengatakan bahwa ikan, yang berevolusi dari invertebrata, di kemudian hari merubah diri mereka sendiri menjadi amfibi yang dapat hidup di darat. (Amfibi adalah hewan yang dapat hidup di darat dan di air, seperti katak). Tapi, sebagaimana yang ada dalam benak Anda, skenario ini pun tidak memiliki bukti. Tak satu fosil pun yang menunjukkan makhluk separuh ikan separuh amfibi pernah ada.
Dia saat mengemukakan teori ini, ia tidak dapat menunjukkan bukti-bukti fosil bentuk peralihan ini. Dengan kata lain, Darwin sekedar menyampaikan dugaan yang tanpa disertai bukti.
COELACANTH TERNYATA MASIH HIDUP
Hingga 70 tahun yang lalu, evolusionis mempunyai fosil ikan yang mereka yakini sebagai "nenek moyang hewan-hewan darat". Namun, perkembangan ilmu pengetahuan meruntuhkan seluruh pernyataan evolusionis tentang ikan ini. Ketiadaan fosil bentuk peralihan antara ikan dan amfibi adalah fakta yang juga diakui oleh para evolusionis hingga kini. Namun, sampai sekitar 70 tahun yang lalu, fosil ikan yang disebut coelacanth diterima sebagai bentuk peralihan antara ikan dan hewan darat. Evolusionis menyatakan bahwa coelacanth, yang diperkirakan berumur 410 juta tahun, adalah bentuk peralihan yang memiliki paru-paru primitif, otak yang telah berkembang, sistem pencernaan dan peredaran darah yang siap untuk berfungsi di darat, dan bahkan mekanisme berjalan yang primitif. Penafsiran evolusi ini diterima sebagai kebenaran yang tak perlu diperdebatkan lagi di dunia ilmiah hingga akhir tahun 1930-an.
Namun, pada tanggal 22 Desember  1938, penemuan yang sangat menarik terjadi di Samudra Hindia. Seekor ikan dari  famili coelacanth, yang sebelumnya diajukan sebagai bentuk peralihan yang telah  punah 70 juta tahun yang lalu, berhasil ditangkap hidup-hidup! Tak diragukan  lagi, penemuan ikan coelacanth "hidup" ini memberikan pukulan hebat bagi para  evolusionis. Ahli paleontologi evolusionis, J. L. B. Smith, mengatakan ia tidak  akan terkejut lagi jika bertemu dengan seekor dinosaurus yang masih hidup.  (Jean-Jacques Hublin, The Hamlyn Encyclopædia of Prehistoric Animals, New York:  The Hamlyn Publishing Group Ltd., 1984, hal. 120). Pada tahun-tahun berikutnya,  200 ekor coelacanth berhasil ditangkap di berbagai tempat berbeda di seluruh  dunia.
BERAKHIRNYA SEBUAH MITOS
Coelacanth ternyata masih hidup! Tim yang menangkap coelacanth hidup pertama di Samudra Hindia pada tanggal 22 Desember 1938 terlihat di sini bersama ikan tersebut
Coelacanth ternyata masih hidup! Tim yang menangkap coelacanth hidup pertama di Samudra Hindia pada tanggal 22 Desember 1938 terlihat di sini bersama ikan tersebut
Keberadaan coelacanth yang masih  hidup mengungkapkan sejauh mana evolusionis dapat mengarang skenario khayalan  mereka. Bertentangan dengan pernyataan mereka, coelacanth ternyata tidak  memiliki paru-paru primitif dan tidak pula otak yang besar. Organ yang dianggap  oleh peneliti evolusionis sebagai paru-paru primitif ternyata hanyalah kantung  lemak. (Jacques Millot, "The Coelacanth", Scientific American, Vol 193, December  1955, hal. 39). Terlebih lagi, coelacanth, yang dikatakan sebagai "calon reptil  yang sedang bersiap meninggalkan lautan untuk menuju daratan", pada kenyataannya  adalah ikan yang hidup di dasar samudra dan tidak pernah mendekati rentang  kedalaman 180 meter dari permukaan laut. (Bilim ve Teknik (Science and  Technology), November 1998, No. 372, hal. 21).
MANUSIA  BERAHANG KERA  
Tengkorak Manusia Piltdown  dikemukakan kepada dunia selama lebih dari 40 tahun sebagai bukti terpenting  terjadinya "evolusi manusia". Akan tetapi, tengkorak ini ternyata hanyalah  sebuah kebohongan ilmiah terbesar dalam sejarah.
Rekonstruksi tengkorak manusia Piltdown yang pernah 
diperlihatkan di berbagai museum
diperlihatkan di berbagai museum
Pada tahun 1912, seorang dokter  terkenal yang juga ilmuwan paleoantropologi amatir, Charles Dawson, menyatakan  dirinya telah menemukan satu tulang rahang dan satu fragmen tengkorak dalam  sebuah lubang di Piltdown, Inggris. Meskipun tulang rahangnya lebih menyerupai  kera, gigi dan tengkoraknya menyerupai manusia. Spesimen ini diberi nama  "Manusia Piltdwon". Fosil ini diyakini berumur 500.000 tahun, dan dipamerkan di  berbagai museum sebagai bukti nyata evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun,  banyak artikel ilmiah telah ditulis tentang "Manusia Piltdown", sejumlah besar  penafsiran dan gambar telah dibuat, dan fosil ini diperlihatkan sebagai bukti  penting evolusi manusia. Tidak kurang dari 500 tesis doktoral telah ditulis  tentang masalah ini. (Malcolm Muggeridge, The End of Christendom, Grand Rapids,  Eerdmans, 1980, hal. 59.)
Pada tahun 1949, Kenneth Oakley dari departemen paleontologi British Museum  mencoba melakukan "uji fluorin", sebuah cara uji baru untuk menentukan umur  sejumlah fosil kuno. Pengujian dilakukan pada fosil Manusia Piltdown. Hasilnya  sungguh mengejutkan. Selama pengujian, diketahui ternyata tulang rahang Manusia  Piltdown tidak mengandung fluorin sedikit pun. Ini menunjukkan tulang tersebut  telah terkubur tak lebih dari beberapa tahun yang lalu. Sedangkan tengkoraknya,  yang mengandung sejumlah kecil fluorin, menunjukkan umurnya hanya beberapa ribu  tahun.
Penelitian lebih lanjut  mengungkapkan bahwa Manusia Piltdown merupakan penipuan ilmiah terbesar dalam  sejarah. Ini adalah tengkorak buatan; tempurungnya berasal dari seorang lelaki  yang hidup 500 tahun yang lalu, dan tulang rahangnya adalah milik seekor kera  yang belum lama mati! Kemudian gigi-giginya disusun dengan rapi dan ditambahkan  pada rahang tersebut, dan persendi-annya diisi agar menyerupai pada manusia.  Kemudian seluruh bagian ini diwarnai dengan potasium dikromat untuk memberinya  penampakan kuno.
Le Gros Clark, salah seorang  anggota tim yang mengungkap pemalsuan ini, tidak mampu menyembunyikan  keterkejutannya dan mengatakan: "bukti-bukti abrasi tiruan segera tampak di  depan mata. Ini terlihat sangat jelas sehingga perlu dipertanyakan - bagaimana  hal ini dapat luput dari penglihatan sebelumnya?" (Stephen Jay Gould, "Smith  Woodward's Folly", New Scientist, 5 April 1979, hal. 44) Ketika kenyataan ini  terungkap, "Manusia Piltdown" dengan segera dikeluarkan dari British Museum yang  telah memamerkannya selama lebih dari 40 tahun.
Manusia Piltdown merupakan pemalsuan yang  dilakukan dengan merekatkan rahang kera pada tengkorak manusia
Skandal Piltdown dengan jelas memperlihat-kan bahwa tidak ada yang dapat  menghentikan para evolusionis dalam rangka membuktikan teori-teori mereka.  Bahkan, skandal ini menunjukkan para evolusionis tidak memiliki penemuan apa pun  yang mendukung teori mereka. Karena mereka tidak memiliki bukti apa pun, mereka  memilih untuk membuatnya sendiri.
KEKELIRUAN PEMIKIRAN TENTANG  REKAPITULASI  
Teori Haeckel ini menganggap bahwa embrio hidup  mengalami ulangan proses evolusi seperti yang dialami moyang-palsunya. Haeckel  berteori bahwa selama perkembangan di dalam rahim ibunya, embrio manusia kali  pertama memperlihatkan sifat-sifat seekor ikan, lalu reptil, dan akhirnya  manusia.
Sejak itu telah dibuktikan bahwa  teori ini sepenuhnya omong kosong. Kini telah diketahui bahwa “insang-insang”  yang disangka muncul pada tahap-tahap awal embrio manusia ternyata adalah  taraf-taraf awal saluran telinga dalam, kelenjar paratiroid, dan kelenjar  gondok. Bagian embrio yang diserupakan dengan “kantung kuning telur” ternyata  kantung yang menghasilkan darah bagi si janin. Bagian yang dikenali sebagai  “ekor” oleh Haeckel dan para pengikutnya sebenarnya tulang belakang, yang mirip  ekor hanya karena tumbuh mendahului kaki.
Inilah fakta-fakta yang diterima  luas di dunia lmiah, dan bahkan telah diterima oleh para evolusionis sendiri.  Dua pemimpin neo-Darwinis, George Gaylord Simpson dan W. Beck telah mengakui:  Haeckel keliru menyatakan azas evolusi yang terlibat. Kini telah benar-benar diyakini bahwa ontogeni tidak mengulangi filogeni
Segi menarik lain dari “rekapitulasi” adalah Ernst Haeckel sendiri, seorang pemalsu yang mereka-reka gambar-gambar demi mendukung teori yang diajukannya. Pemalsuan Haeckel bermaksud menunjukkan bahwa embrio-embrio ikan dan manusia mirip satu sama lain.
Pada terbitan 5 September 1997  majalah ilmiah Science, sebuah artikel diterbitkan yang mengungkapkan  bahwa gambar-gambar embrio Haeckel adalah karya penipuan. Artikel berjudul  “Haeckel’s Embryos: Fraud Rediscovered” (Embrio-embrio Haeckel: Mengungkap Ulang  Sebuah Penipuan) ini mengatakan:
Kesan yang  dipancarkan [gambar-gambar Haeckel] itu, bahwa embrio-embrio persis serupa,  adalah keliru, kata Michael Richardson, seorang ahli embriologi pada St.  George’s Hospital Medical School di London… Maka, ia dan para sejawatnya  melakukan penelitian perbandingan, memeriksa kembali dan memfoto embrio-embrio  yang secara kasar sepadan spesies dan umurnya dengan yang dilukis Haeckel.  Sim salabim dan perhatikan! Embrio-embrio “sering dengan mengejutkan  tampak berbeda,” lapor Richardson dalam Anatomy and Embryology terbitan  Agustus [1997].
Pada terbitan 5 September 1997, majalah terkemuka Science menyajikan sebuah artikel yang menyingkapkan bahwa gambar-gambar embrio milik Haeckel telah dipalsukan. Artikel ini menggambarkan bagaimana embrio-embrio sebenarnya sangat berbeda satu sama lain...
Penelitian di tahun-tahun terakhir telah  menunjukkan bahwa embrio-embrio dari spesies yang berbeda tidak saling mirip,  seperti yang ditunjukkan Haeckel. Perbedaan besar di antara embrio-embrio  mamalia, reptil, dan kelelawar di atas adalah contoh nyata hal ini
Science menjelaskan bahwa, demi menunjukkan bahwa embrio-embrio memiliki  kemiripan, Haeckel sengaja menghilangkan beberapa organ dari gambar-gambarnya  atau menambahkan organ-organ khayalan. Belakangan, di dalam artikel yang sama, informasi  berikut ini diungkapkan:
Bukan hanya menambahkan atau mengurangi ciri-ciri,  lapor Richardson dan para sejawatnya, namun Haeckel juga mengubah-ubah ukuran  untuk membesar-besarkan kemiripan di antara spesies-spesies, bahkan ketika ada  perbedaan 10 kali dalam ukuran. Haeckel mengaburkan perbedaan lebih jauh dengan  lalai menamai spesies dalam banyak kesempatan, seakan satu wakil sudah cermat  bagi keseluruhan kelompok hewan. Dalam kenyataannya, Richardson dan para  sejawatnya mencatat, bahkan embrio-embrio hewan yang berkerabat dekat seperti  ikan cukup beragam dalam penampakan dan urutan perkembangannya.
Artikel Science membahas  bagaimana pengakuan-pengakuan Haeckel atas masalah ini ditutup-tutupi sejak awal  abad ke-20, dan bagaimana gambar-gambar palsu ini mulai disajikan sebagai fakta  ilmiah di dalam buku-buku acuan:
Pengakuan Haeckel lenyap setelah  gambar-gambarnya kemudian digunakan dalam sebuah buku tahun 1901 berjudul  Darwin and After Darwin (Darwin dan Sesudahnya) dan dicetak ulang secara  luas di dalam buku-buku acuan biologi berbahasa Inggris.
Singkatnya, fakta bahwa  gambar-gambar Haeckel dipalsukan telah muncul di tahun 1901, tetapi seluruh  dunia ilmu pengetahuan terus diperdaya olehnya selama satu abad.
TATKALA  MANUSIA MENCARI NENEK MOYANGNYA 
Walaupun para evolusionis tidak  berhasil menemukan bukti ilmiah untuk mendukung teori mereka, mereka sangat  berhasil dalam satu hal: propaganda. Unsur paling penting dari propaganda ini  adalah gambar-gambar palsu dan bentuk tiruan yang dikenal dengan  "rekonstruksi".
Rekonstruksi dapat diartikan  sebagai membuat lukisan atau membangun model makhluk hidup berdasarkan satu  potong tulang yang ditemukan dalam penggalian. "Manusia-manusia kera" yang kita  lihat di koran, majalah atau film semuanya adalah rekonstruksi.
Ketika mereka tidak mampu  menemukan makhluk "setengah manusia setengah kera" dalam catatan fosil, mereka  memilih membohongi masyarakat dengan membuat gambar-gambar palsu. 
Persis seperti pernyataan evolusionis yang lain  tentang asal-usul makhluk hidup, pernyataan mereka tentang asal-usul manusia pun  tidak memiliki landasan ilmiah. Berbagai penemuan menunjukkan bahwa "evolusi  manusia" hanyalah dongeng belaka. 
Darwin mengemukakan pernyataannya bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek  moyang yang sama dalam bukunya The Descent of Man yang terbit tahun 1971. Sejak  saat itu, para pengikut Darwin telah berusaha untuk memperkuat kebenaran  pernyataan tersebut. Tetapi, walaupun telah melakukan berbagai penelitian,  pernyataan "evolusi manusia" belum pernah dilandasi oleh penemuan  ilmiah yang nyata, khususnya di bidang fosil.
Penemuan ini jelas menunjukkan pendapat tentang sifat-sifat perolehan yang terkumpul dari satu keturunan ke turunan berikutnya, sehingga memunculkan spesies baru, tidaklah mungkin. Dengan kata lain, mekanisme seleksi alam rumusan Darwin tidak berkemampuan mendorong terjadinya evolusi. Jadi, teori evolusi Darwin sesungguhnya telah ambruk sejak awal di abad ke-20 dengan ditemukannya ilmu genetika. Segala upaya lain dari para pendukung evolusi di abad ke-20 selalu gagal.
Teori evolusi menyatakan bahwa kelompok makhluk  hidup yang berbeda-beda (filum) terbentuk dan berkembang dari satu nenek moyang  bersama, dan berubah menjadi bentuk yang semakin berbeda satu sama lain seiring  berlalunya waktu. Gambar paling atas menampilkan pernyataan ini, yang dapat  digambarkan menyerupai proses percabangan pohon. Namun, fakta catatan fosil  malah membuktikan kebalikannya. Sebagaimana diperlihatkan gambar paling bawah,  beragam kelompok makhluk hidup muncul serentak dan tiba-tiba dengan ciri tubuh  masing-masing yang khas. Sekitar 100 filum mendadak muncul di zaman Kambrium.  Setelah itu, jumlah mereka menurun (karena punahnya sejumlah filum) , dan  bukannya meningkat.
YANG TERSEMBUNYI DI BALIK PERCOBAAN MILLER

Penemuan ini jelas menunjukkan pendapat tentang sifat-sifat perolehan yang terkumpul dari satu keturunan ke turunan berikutnya, sehingga memunculkan spesies baru, tidaklah mungkin. Dengan kata lain, mekanisme seleksi alam rumusan Darwin tidak berkemampuan mendorong terjadinya evolusi. Jadi, teori evolusi Darwin sesungguhnya telah ambruk sejak awal di abad ke-20 dengan ditemukannya ilmu genetika. Segala upaya lain dari para pendukung evolusi di abad ke-20 selalu gagal.
YANG TERSEMBUNYI DI BALIK PERCOBAAN MILLER
Penelitian yang paling diterima  luas tentang asal usul kehidupan adalah percobaan yang dilakukan peneliti  Amerika, Stanley Miller, di tahun 1953. (Percobaan ini juga dikenal sebagai  “percobaan Urey-Miller” karena sumbangsih pembimbing Miller di University  of Chicago, Harold Urey). Percobaan inilah satu-satunya “bukti” milik  para evolusionis yang digunakan untuk membuktikan pendapat tentang “evolusi  kimiawi”. Mereka mengemukakannya sebagai tahapan awal proses evolusi yang  mereka yakini, yang akhirnya memunculkan kehidupan.
Melalui percobaan, Stanley  Miller bertujuan membuktikan bahwa di bumi yang tak berkehidupan miliaran tahun  lalu, asam amino, satuan molekul pembentuk protein, dapat terbentuk dengan  sendirinya secara alamiah tanpa campur tangan sengaja apa pun di luar kekuatan  alam. Dalam percobaannya, Miller menggunakan campuran gas yang ia yakini  terdapat pada bumi purba (yang kemudian terbukti tidak tepat). Campuran ini  terdiri dari gas amonia, metana, hidrogen, dan uap air. Karena gas-gas ini  takkan saling bereaksi dalam lingkungan alamiah, ia menambahkan energi ke  dalamnya untuk memicu reaksi antar gas-gas tersebut. Dengan beranggapan energi  ini dapat berasal dari petir pada atmosfer purba, ia menggunakan arus listrik  untuk tujuan tersebut.
Atmosfer purba yang Miller coba tiru dalam percobaannya tidaklah sesuai dengan kenyataan. Di tahun 1980-an, para  ilmuwan sepakat bahwa seharusnya gas nitrogen dan karbon dioksidalah  yang digunakan dalam lingkungan buatan itu dan bukan metana serta amonia.
Ilmuwan Amerika, J. P. Ferris dan C. T. Chen mengulangi  percobaan Miller dengan menggunakan lingkungan atmosfer yang berisi karbon  dioksida, hidrogen, nitrogen, dan uap air; dan  mereka tidak mampu mendapatkan bahkan satu saja molekul asam amino. (J.  P. Ferris, C. T. Chen, "Photochemistry of Methane, Nitrogen, and Water  Mixture As a Model for the Atmosphere of the Primitive Earth," Journal of  American Chemical Society, vol. 97:11, 1975, h. 2964.)
Terdapat sejumlah temuan yang  menunjukkan bahwa kadar oksigen di atmosfer kala itu jauh lebih tinggi daripada  yang sebelumnya dinyatakan para evolusionis. Berbagai penelitian juga  menunjukkan, jumlah radiasi ultraviolet yang kala itu mengenai bumi adalah  10.000 lebih tinggi daripada perkiraan para evolusionis. Radiasi kuat ini  dipastikan telah membebaskan oksigen dengan cara menguraikan uap air dan karbon  dioksida di atmosfer.
Keadaan ini sama sekali  bertentangan dengan percobaan Miller, di mana oksigen sama sekali diabaikan.  Jika oksigen digunakan dalam percobaannya, metana akan teruraikan menjadi karbon  dioksida dan air, dan amonia akan menjadi nitrogen dan air. Sebaliknya, di  lingkungan bebas oksigen, takkan ada pula lapisan ozon; sehingga asam-asam amino  akan segera rusak karena terkena sinar ultraviolet yang paling kuat tanpa  perlindungan dari lapisan ozon. Dengan kata lain, dengan atau tanpa oksigen di  bumi purba, hasilnya adalah lingkungan mematikan yang bersifat merusak bagi asam  amino.
Anehnya, mengapa percobaan  Miller masih saja dimuat di buku-buku pelajaran dan dianggap sebagai bukti  penting asal usul kehidupan secara kimiawi? Ini sekali lagi menunjukkan betapa  evolusi bukanlah teori ilmiah, melainkan keyakinan buta yang tetap dipertahankan  meskipun bukti menunjukkan hal sebaliknya.
Kalangan masyarakat awam adalah  yang umumnya tidak mengetahui kenyataan ini, dan menganggap pernyataan evolusi  manusia didukung oleh berbagai bukti kuat. Anggapan yang salah tersebut terjadi  karena masalah ini seringkali dibahas di media masa dan disampaikan sebagai  fakta yang telah terbukti. Tetapi mereka yang benar-benar ahli di bidang ini  mengetahui bahwa kisah "evolusi manusia" tidak memiliki dasar ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar