Kamis, 21 April 2011

Hancurnya Mutiara Manama dan Kepedihan Jaseem

Rasa takut kehilangan kekuasaan
seringkali mengorupsi penguasa
Aung San Suu Kyi

"Lihat kawan, luka-luka di tubuhku ini adalah saksi kekejaman penguasa di negeriku. Penjara dan kekerasan adalah bayaran bagi para penuntut keadilan"
Begitulah, penuturan Jaseem, pemuda asal Bahrain yang pernah bersamaku duduk di kelas bahasa. Di bawah siraman cahaya purnama yang memudar, pemuda itu mengungkapkan selarik luka, tujuh tahun lalu. Masih terbayang di benakku, kepedihan yang tergambar dari raut wajahnya seakan mewakili perjalanan luka yang cukup lama mengawal hidupnya.

Aku hanya bisa terpaku mendengarkan cerita pemuda Arab jangkung yang memendam kepedihan dalam itu, seraya berharap suatu saat akan ada perubahan nasib bagi Jaseem dan teman-teman senegaranya. Dulu, yang sempat tersingkap dalam benakku adalah sebuah gambaran kekecewaan yang lumrah seorang warga negara Syiah yang dipimpin oleh Raja Sunni. 



Barangkali juga kepalaku terlalu sesak dijejali pencitraan positif dari para pekerja asing tentang Bahrain. Ada banyak cerita yang mengumbar manisnya hidup sebaik expat di negara Arab. Obrolan ringan yang terdengar dari kerumunan orang Indonesia di Bandara salah satu negera Arab, saat transit menuju Indonesia dua tahun lalu, seperti mengamini sebuah citra positif yang kukuh dibangun tentang negara Arab semacam Bahrain. Di mata mereka, rakyat Bahrain hidup makmur di bawah kekuasaan Dinasti Al Khalifa di negeri gurun pasir Itu.
Tampaknya, alasan ekonomi dan kesejahteraan hampir sulit untuk membenarkan kekecewaan pemuda Bahrain itu. Ribuan pekerja asing dari profesional teknik sampai perawat, dari supir hingga PRT mengais rezeki di negeri yang hanya seluas 750 km persegi itu. Saat ini saja, WNI di Bahrian tercatat mencapai 8000 orang. Belum lagi dari negara lain seperti Pakistan dan Bangladesh yang konon lebih dominan dari pada expat asal Indonesia.
Gelombang expat ke Bahrain terutama didorong kebijakan zona perdagangan bebas antara enam negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC). Berkait kebijakan inilah Manama menjadi basis dan pusat perbankan dari kongsi bisnis enam negara Arab di pesisir Teluk Persia yang terdiri dari Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Bahrain sendiri.
Keharmonisan keenam negara Arab semakin kuat dengan dukungan negara-negara Barat terutama Inggris dan AS melalui sejumlah korporasi energi raksasa semacam Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Shell.
Semua itu seolah ingin membenarkan klaim media massa mainstream yang diamini media nasional bahwa gelombang protes rakyat yang kian meningkat hanya lantaran isu sektarian. Mayoritas warga Syiah tidak menghendaki dipimpin oleh Raja Hamad bi Isa Al Khalifa yang Sunni. Inilah yang terus menghiasi berbagai media massa tanah air. Lalu, benarkah gejolak di Bahrain adalah isu sektarian, kekecewaan warga Syiah atas kepemimpinan Sunni?
Gejolak Bahrain, Bukan Konflik Sunni-Syiah!
Efek domino protes rakyat di Tunisia dan Mesir mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Bahrain. Namun, berbeda dengan revolusi rakyat Tunisia dan Mesir serta Libya yang dikawal media massa mainstream, protes rakyat Bahrain menentang pemerintahan Hamad bin Isa Al Khalifa nyaris luput dari bidikan mayoritas media.
Ironisnya, mereka bahkan menebarkan sentimen sektarian bernuasa agama. Mesin media ini mengklaim Muslim Syiah sebagai mayoritas di Bahrain menuntut demokrasi yang lebih besar yang berujung berkuasanya mayoritas Syiah. Bahkan seorang ulama terkemuka Arab yang diharapkan tampil objektif pun justru memperkeruh masalah dengan mengamini klaim media mainstream itu. Padahal tudingan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat, bahkan cenderung dipolitisasi.
Pertama, isu sektarian hanya dijadikan alat untuk melanggengkan singgasana monarki Dinasti Al-Khalifa yang diwariskan secara turun-temurun.
Berdasarkan prinsip hak asasi manusia internasional, setiap warga negara di manapun memiliki hak diperlakukan secara adil baik di level sosial hingga arena politik oleh negara. Namun faktanya, rezim Al Khalifa melakukan diskriminasi terhadap warganya sendiri.
Betapa tidak, di saat puluhan ribu expat memadati negara yang hanya seluas 750 km persegi itu, warga Bahrain sendiri harus berjuang mati-matian menghadapi masalah perumahan dan pengangguran.Tidak hanya itu, kebebasan mereka dibatasi, terutama di ranah sosial dan politik.
Perlu bukti, kunjungilah Badan Pusat Statistik Bahrain. Lihatlah berapa gelintir orang Syiah yang bisa bekerja sebagai pegawai negeri maupun terjun di dunia politik. Belum lagi peliknya masalah politik di negeri dengan populasi sekitar 1,3 juta orang itu. Keputusan final sebuah kebijakan negara berada di tangan Raja dan Dewan Kerajaan, yang bisa memveto apa saja hasil keputusan parlemen, sekalipun anggota lembaga legislatif ini dipilih secara demokratis melalui pemilu.
Berbeda dengan sistem Republik yang lebih demokratis, sistem monarki sebagaimana dianut Bahrain, cenderung melestarikan nepotisme sebuah kelompok tertentu dengan menempatkan orang-orang dari Dinasti Khalifa berada di puncak kekuasaan. Sebaliknya rezim membatasi dan memberangus suara oposisi, meski mereka adalah mayoritas.
Pemberangusan suara protes rakyat yang dilakukan rezim Khalifa telah mengerak selama bertahun-tahun.Namun luput dari sorotan media global. Karena media mainstream menutup mata atas apa yang terjadi di negeri monarki itu. Padahal berbagai lembaga HAM internasional sejak dulu telah mengungkap berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Bahrain.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan Hamad Bin Isa Al Khalifa mendatangkan dan menaturalisasi warga negara asing dari Palestina, Mesir dan negara Arab lainnya demi mengubah demografi Bahrain.Terbukti dalam sepuluh tahun terakhir, populasi warga Syiah Bahrain turun drastis dari 80 persen turun 10 persen menjadi 70 persen. Kebijakan rasis ini meningkat dalam sepuluh tahun terakhir di bawah kendali Putra mahkota Pangeran Salman bin Hamad Al Khalifa. Kebijakan rezim Manama tersebut serupa dengan sepak terjang Tel Aviv mendatangkan kaum Yahudi dari berbagai negara dunia ke Israel demi mengubah demografi Palestina Pendudukan.
"Doesn't that sound like an echo of apartheid?" tanya Nicholas D. Kristof. Ah, aku mulai membenarkan pertanyaan menohok jurnalis The New York Times ini.
Lalu, salahkah jika warga Bahrain yang mayoritas Syiah berunjuk rasa menuntut haknya secara demokratis terhadap pemerintahaan mereka sendiri, sebagaimana tuntutan rakyat Tunisia, Mesir dan Libya?
Sungguh naif, jika tuntutan damai ini disebut revolusi sektarian, hingga harus ditumpas menggunakan senjata, tank, helikopter bahkan ribuan tentara asing. Sekali lagi, di saat para demonstran itu tanpa senjata, dan sebagian adalah perempuan dan anak-anak.
Kedua, isu sektarian digunakan untuk menutupi ketidakdemokratisan Dinasti Khalifa dan ketidakmampuan rezim mengatasi masalah dalam negerinya. Menengok, lembaran sejarah Bahrain di bawah kepemimpinan Dinasti Al Khalifa, tidak ada bukti warga syiah melakukan pemberontakan, sebagaimana tudingan bohong media mainstream selama ini. Warga syiah Bahrain yang tertindas di negaranya sendiri melakukan aksi protes melalui cara-cara yang demokratis, dan mereka tidak pernah melakukan kudeta ataupun memanggul senjata sebagaimana terjadi di Libya.
Bola salju protes rakyat Bahrain menentang kelaliman Dinasti Al Khalifa yang memuncak dalam dua bulan terakhir ini, sebenarnya merupakan akumulasi kekecewaan panjang rakyat terhadap rezim.
Selama bertahun-tahun, rakyat Bahrain menuntut haknya yang diinjak-injak pemerintahan Hamad bin Isa Al Khalifa dengan cara-cara damai. Dan mereka tidak memanggul senjata yang ditumpas oleh rezim Manama dengan senjata, tank, helikopter, bahkan mendatangkan militer asing ke negara itu.
Dengarkan pengakuan aktivis HAM internasional, Roudney Shakespeare mengenai protes rakyat Bahrain. "Para demonstran adalah orang-orang yang menyampaikan tuntutannya secara demokratis dan mengemukakan tuntutan dengan cara-cara non kekerasan," tutur Shakespeare.
"Jika digelar pemilu yang bebas dan adil di Bahrain, maka dipastikan mayoritas rakyat akan memilih menolak rezim. Untuk itulah, pemerintah Manama akan menjegal gelombang demokratisasi di negara ini,"tegas ketua Komisi HAM Anti Penyiksaan di Bahrain yang berbasis di London.
Ketiga, isu sektarian untuk menutupi tribalisme negara-negara Arab anggota GCC.
Keputusan rezim Manama mendatangkan pasukan militer disertai dan persenjataan militer lengkap untuk menumpas aksi damai rakyatnya, dari sisi dalam negeri membuktikan bahwa pemerintah Al-Khalifa tidak didukung oleh rakyatnya sendiri.

Buktinya, penyerangan terhadap rumah sakit Salmaniya beberapa hari lalu yang dikecam organisasi internasional dan sejumlah negara dan publik dunia, lebih banyak dilakukan oleh tentara Saudi. Sniper asing juga mengancam petugas medis dokter rumah sakit. Tentara Bahrain yang dibantu pasukan asing itu mengamuk seperti berburu tikus. Persis seperti penuturan Michael Slackman,"It Sounded like they were hunting rats."
Invasi militer anggota Dewan kerjasama Teluk (GCC) yang dipimpin Arab Saudi semakin membuktikan bahwa isu sektarian hanya alat untuk melanggengkan singgasana rezim monarki Bahrain.Teramat sulit untuk membenarkan invasi militer atas sebuah negara yang mendatangkan militer asing demi menumpas protes damai rakyatnya sendiri.
Hingga kini tidak ada argumentasi logis yang bisa dipertanggungjawabkan atas invasi pasukan Aljazeera di bawah pimpinan Arab Saudi di Bahrain. Paling-paling bersandar pada sebuah kesepakatan pertahanan bersama anggota GCC yang ditandatangani pada Desember 2000 silam.
Simaklah argumentasi apologetik profesor bidang Keamanan dari Universitas Nayef, Arab Saudi yang mati-matian menjustifikasi invasi pasukan GCC ke Bahrain. "Campur tangan pasukan Aljazeera di Bahrain adalah sebuah keharusan. Ini masuk akal dalam konteks kerjasama militer dan pertahanan bersama GCC,"tutur Jamal Madhlum.
Untuk memperkuat argumentasinya, Madhlum menyitir kesepakatan pertahanan GCC. "Dalam pasal 2 disebutkan bahwa negara-negara anggota GCC menganggap bahwa setiap aksi permusuhan terhadap salah satu anggota turut melakukan tindakan permusuhan terhadap semua anggota GCC,"cetusnya.
Tidak cukup hanya itu, pakar keamanan Arab Saudi ini mengutip pasal 3 konsensus keamanan Dewan Kerjasama Teluk yang menegaskan bahwa GCC berkewajiban membantu anggota lain yang mendapat ancaman atau tindakan permusuhan.
Selintas, statemen pakar politik Timur Tengah yang banyak dikutip berbagai media mainstream, juga diamini media nasional semacam Kompas, Republika dan kantor berita Antara, dianggap memadai untuk membenarkan invasi yang dilakukan pasukan Perisai yang kini berjumlah 30.000 personel itu. Namun, sejatinya statemen ini sumir, dan tidak menunjukkan asertion yang layak untuk menjustikasi invasi pasukan Arab yang bermarkas di Hafr El Bathin, Arab Saudi itu.
Mungkin kita perlu membangunkan Aristoteles dari kuburnya untuk membongkar proposisi pakar politik Universitas Nayef ini tentang invasi pasukan Perisai Aljazeera di Bahrain. Dengan prinsip silogisme, argumentasi profesor Saudi itu seperti ini;
Bahrain anggota GCC
Setiap anggota GCC yang terancam harus diselamatkan
Bahrain harus diselamatkan

Dari proposisi tersebut, nampak jelas apa sebenarnya yang dibela matian-matian oleh GCC, hingga harus mengirimkan pasukan perisai Aljazeera bersama tank dan helikopter untuk membantai rakyat Bahrain. GCC tidak menyelamatkan negara kecil di Pesisir Teluk Persia itu, tapi menyelamatkan Dinasti Al Khalifa yang berkuasa di sana.
Sejatinya, tribalisme digunakan untuk melanggengkan singgana raja-raja Arab. Solidaritas mereka, tergambar persis seperti senyum merekah enam raja Arab anggota GCC di layar televisi yang mengayun-ayunkan pedang diiringi tarian perang, yang terus dilestarikan sejak jaman Jahiliyah hingga kini. Para antropolog benar, "Pedang dan kekerasan adalah eksekusi final di negara-negara Arab, bukan suara mayoritas rakyat yang berlaku di sana." Inilah pemicu revolusi rakyat yang bergolak di Timur Tengah dari Tunisia, Mesir, Libya hingga Bahrain.
Keempat, isu sektarian digunakan untuk membungkus perselingkuhan antara korporasi raksasa dunia, singgasana raja-raja Arab dan adidaya global.
Menyusul kemenangan Revolusi Islam Iran dan tumbangnya rezim despotik Reza Pahlevi pada tahun 1979, terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak raksasa asing di Iran yang merupakan basis minyak AS dan Eropa di Timur Tengah. Dampaknya, negara-negara Barat terpaksa mencari pijakan baru untuk mengamankan suplai minyak di kawasan Teluk Persia.
Sontak sejumlah perusahaan energi raksasa dunia seperti Exxon Mobil, Texaco, BP, Dutch yang berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rotchschild mulai merancang skema baru untuk menguasai minyak mentah Teluk. Akhirnya dijalinlah kongsi haram antara pemilik kedua korporasi raksasa itu dengan dinasti Saud. Buntutnya, Dinasti Saud menjual negeri yang menjadi tempat Kibat umat Islam, Kabah, sebagai poros operasi politik, ekonomi, intelejen dan militer korporasi raksasa Barat.
Sistem monarki yang dianut negara-negara anggota GCC memudahkan Inggris dan AS mengendalikan keenam negara Arab itu demi mengamankan penguasaannya atas minyak di kawasan Teluk. Terang saja, 42 persen cadangan minyak Inggris dan AS disuplai dari keenam anggota Dewan Kerjasama Teluk itu. Arab Saudi sendiri terdapat 60 ladang minyak dan gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel perhari yang dijual murah kepada AS dan Inggris.
Sebagai konpensasinya, Wahington dan London melatih militer Saudi melalui perusahaan keamanan swasta semacam SAIC, Booz Hamilton, TRW dan Vinnel Corp. Selain itu, Riyadh juga menjadi pembeli terbanyak senjata AS untuk mengamankan kekuasaan Bani Saud dan sekutunya, termasuk Bani Al Khalifa yang menjadi basis perbankan dari perselingkungan antara raja Arab, korporasi raksasa multinasional dan kepentingan hegemoni Adidaya Barat.
Di mata Gedung Putih, Bahrain tidak hanya mengamankan kepentingan minyaknya yang dibeli murah dari raja-raja Arab. Lebih dari itu, Washington khawatir kehilangan rekan dekatnya di Teluk Persia yang menjadi pangkalan bagi kapal militer kelima AS.
Tiba-tiba, saya teringat Jaseem, pemuda Bahrain yang mengungkapkan kepedihannya tujuh tahun lalu. Gejolak di negeri Dinar dalam dua bulan terakhir itu mulai membenarkan pengakuan Jaseem tujuh tahun lalu.
Pemuda malang itu pernah mendekam di jeruji besi dan disiksa petugas keamanan Bahrian, hanya gara-gara berunjuk rasa damai bersama temen-temen mahasiswanya menuntut keadilan dan dihapuskannya diskriminasi.
"Kami menuntut Keadilan secara damai, tidak lebih dari itu", tegas Jaseem, sambil menerawang menatap bulan purnama yang bersinar redup. Tujuh tahun lalu, cerita itu kembali kubuka dengan kepedihan.
Bersama hancurnya Monumen Mutiara, perlu tujuh tahun bagiku untuk bisa merasakan penderitaan Jaseem. Bahrain adalah kepedihan kita semua, bukan Sunni, bukan Syiah dan bukan juga Muslim semata. Inilah tragedi kemanusiaan. Jaseem, mengajarkan itu lewat ceritanya tujuh tahun lalu. Mengamini Sitok Srengenge, "tertusuk padamu, berdarah padaku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar