Sampai sekarang, masih banyak teori- teori yang berkembang mengenai siapa dalang dari peristiwa itu. Latar belakang pelaku penculikan yang berasal dari Cakrabirawa dan Batalyon 454 Dipenogoro persis model kudeta yang biasa dilakukan oleh militer. Dari sini muncul teori bahwa itu adalah karena konflik dalam tubuh Angkadan Darat. Teori ini dipercaya oleh Indonesianis Ben Anderson. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa dalang peristiwa itu adalah CIA mengingat konstelasi perang dingin saat itu. Tapi yang paling banyak dipercaya hingga saat ini adalah versi pemerintah orde baru/AD bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan dalang dari apa yang disebut kudeta 1 Oktober tersebut.
Siapapun dalang dari peristiwa itu bukanlah soal. Biarlah para akademisi yang mengkajinya dengan menggunakan standar - standar baku yang mereka miliki. Tapi satu fakta yang tidak bisa dielak. Telah terjadi bentrok sesama anak bangsa dan yang menjadi korban adalah PKI dan para pendukungnya!
Beberapa hari pacsa G30S dan tuduhan dalang diarahkan kepada PKI, timbul gerakan massa yang dibantu AD menuntut pembubaran PKI. Dan tidak jarang dalam setiap aksi itu terjadi gesekan antara massa yang anti PKI dengan pendukung PKI dan yang berujung pada penghakiman massa. PKI yang dalam kondisi pesakitan itu dibakar markasnya, ditangkapi pengurusnya dan juga pembunuhan sadis terhadap pendukungnya di akar rumput.
Puncaknya dapat kita lihat seperti tertulis dalam buku sejarah terjadi ketika pasukan RPKAD yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhi Wibowo mengunjungi daerah - daerah (terutama Jawa Bali) untuk menyulut emosi massa mengganyang pengikut - pengikut PKI. Pembunuhan massal, pemerkosaan perempuan banyak terjadi dan itu dilakukan oleh orang yang menyebut diri mereka Bangsa Indonesia dan berTuhan.
Keadaan PKI yang sudah di ujung tanduk itu diperparah kemudian dengan Pelarangan PKI dan ormas - ormasnya di seluruh Indonesia serta larangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxis-Leninis di seluruh Indonesia lewat keputusan Pemerintah yang dikeluarkan oleh pemegang mandat Surat Pemerintah Sebelas Maret (Supersemar), Let. Jend Soeharto sehari pasca keluarnya surat yang sekarang masih kontroversial itu. Kedudukaan PP itu kemudian diperkuat dengan TAP MPR No XXV tahun 1966 dan produk hukumnya sudah dianggap cukup untuk “menghilangkan” komunisme dari Bumi Pancasila.
Demikian sekelumit kronologi larangan PKI dan ajaran komunisme yang berlaku hingga sekarang. Tapi bukan poin diatas yang ingi saya ungkapkan. Tapi bagaimana konteks pelarangan itu berkaitan dengan Demokrasi, HAM dan cita - cita kemerdekaan kita sendiri.
Pertama, dari kaca mata Demokrasi. Demokrasi adalah seperangkat gagasan yang menjamin adanya kebebasan bagi masyarakat. Itulah pengertian teoritis demokrasi. Kebebasan itu adalah pemberian Tuhan ( Bagi yang percaya) dan tidak boleh ada yang berhak untuk mengambil hak tersebut. Kebebasan beragama, mengungkapkan pendapat adalah kebebasan dasar dari manusia. Kebebasan mengungkapkan mendapat kemudian menjelma menjadi kebebasan untuk memiliki pilihan politik.
Pilihan politik seseorang didasarkan pada kesamaan ideologi dan cita - cita untuk mencapai kekuasaan dan mewujudkan cita - cita itu kelak. Dan komunisme yang bersumber dari ajaran Sosialisme Marxis adalah salah satu dari banyak pilihan ideologi politik di muka bumi ini. Bagi sebagian kecil rakyat indonesia, ideologi itu dirasa cocok untuk mengatasi segala persoalan di Indonesia. Jadilah mereka yang meyakininya sebagai seorang komunis.
Jika kita percaya pilihan politik dalam Demokrasi adalah kebebasan dasar bukankah seharusnya pemerintah itu menjaminnya? Indonesia yang sudah memutuskan menjadi Negara Demokrasi mau tidak mau harus menjalankan Demokrasi itu secara penuh. Dan konsekuensi hukumnya adalah melalui pencabutan TAP MPR No XXV tahun 1966 itu. Tap MPR tersebut adalah produk pemerintahan diktator untuk menghabisi musuh politiknya. UUD 1945 saja secara eksplisit jelas - jelas menjamin kebebasan dasar, masak produk hukum dibawahnya TAP MPR itu tidak bisa dicabut?
Kedua, dari sudut pandang HAM yang sudah sejatinya ada dalam negara Demokrasi, TAP MPR tersebut jelas jelas membawa implikasi hukum yang diskriminatif dan berbahaya. Banyak kemudian produk hukum yang dibuat dengan merujuk pada Tap MPR tersebut. Pelarangan PKI dan terutama sekali larangan penyebaran ajaran komunis bisa ditafsirkan seenaknya saja. Salah satu contohnya, pada zaman orde baru tidak boleh seseorang yang dianggap terlibat G30S (padahal tidak jelas dasarnya) dan PKI untuk memiliki KTP seumur hidupnya. Ada juga label di KTP yang menyebutkan bahwa seseorang itu bekas tapol/napol. Tujuan apalagi selain membatasi ruang gerak mereka dalam memperoleh akses pekerjaan dan pendidikan yang sudah sewajarnya mereka dapatkan.
Akibatnya tentu bisa ditebak. Keturunan mereka yang tidak tahu apa - apa tentang PKI atau bahkan G30S ikut terstigmatisasi di lingkungan mereka. Banyak buku - buku juga dilarang beredar hanya karena pengarangnya pernah menjadi anggota PKI dan onderbouwnya, padahal jelas - jelas kandungan buku itu tidak memiliki keterkaitan apapun sama sekali dengan ajaran komunis/Marxis-Leninis. Contoh paling fenomenal dan masih diingat sampai sekarang adalah pelarangan penerbitan buku roman Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Itu hanya kerena Pramoedya pernah menjadi ketua LEKRA, Onderbouw PKI bidang kesenian. Ironis!
Timbulnya diskriminasi oleh negara terhadap warga negaranya adalah bentuk pelangaran HAM paling kejam. Dan itu dapat disebut sebagai terorisme nagara pada warganya sendiri. Lebih berbahaya ketimbang terorisme kelompok radikal yang berkembang dewasa ini.
Ketiga, dari sudut pandang kemerdekaan Indonesia. Cita - cita kemerdekaan Indonesia terangkum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.” Kata kunci Rakyat Indonesia adalah universal. Universal berarti untuk semua, tanpa pembatasan sama sekali berdasarkan identitas primordialisme dan pilihan politik supaya hidupnya merdeka, bersatu berdaulat dan adil makmur. Apakah adil dan makmur dapat tercapai tanpa merdeka (kebebasan) dan bersatu (tidak diskriminatif)?
Cita- cita kemerdekaaan secara eksplisit adalah penerimaan terhadap sistem demokrasi dan HAM itu sendiri. Bangsa Indonesia tidaklah boleh lupa akan makna kemerdekaaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para Pahlawan. Cita - cita itu tidak untuk sekelompok orang, etnis maupun ideologinya. Tapi untuk semua. Jika demokrasi dan HAM kita langgar, dengan sendirinya kita hancurkan pula cita - cita kemerdekaan yang diproklamirkan tahun 45 itu.
Untuk mewujudkan semua itu, sekali lagi, salah satu langkah yang harus diambil dengan cara mencabut TAP MPR No. XXV tahun 1966. Dalam iklim keterbukaan Demokrasi sekarang ruang itu terbuka cukup lebar. Hanya dengan political will pemerintah dan anggota MPR saja hal itu dapat terealisasi. Sebab, sistem ketatanegaraan tidak memungkinkan untuk mengajukan uji meteri atas Tap MPR kepada Mahkamah Konstitusi. Karena kedudukan Tap di atas UU dan hanya boleh dicabut dengan mengeluarkan Tap pencabutan oleh MPR sendiri. Sejauh ini hanya PDIP yang konsisten menghendaki pencabutan TAP MPR No. XXV tahun 1966 itu. Sedangkan partai - partai lain kelihatan tidak setuju dengan alasan - alasan subyektif prosedural ketimbang obyektif rasional.
Alasan - alasan PKI akan hidup lagi dan komunisme bertentangan dengan Pancasila sebab mereka tidak bertuhan juga sering dilontarkan. Apabila alasan itu konsisten, mengapa Negara menjamin adanya kelompok - kelompok yang secara nyata bahkan menyebut Pancasila itu haram, kafir dan Indonesia adalah Negara setan. Apakah hanya dengan embel - embel percaya pada Tuhan mereka lantas bisa dibiarkan hidup padahal mereka mau membunuh demokrasi yang mana mereka dapat hidup dalam sistem itu?
Jika kita percaya Tuhan tidak pernah memaksa untuk percaya kepadaNya, kita juga seharusnya percaya bahwa mereka yang tidak percaya kepadaNya pun dijamin untuk diperlakukan setara. Hanya dalam Demokrasi itu bisa terwujud!
*Tulisan diatas hanya pendapat pribadi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar