KETIKA pasukan Jerman gagal merebut Kota Stalingrad pada bulan Februari  1943, Adolf Hitler dengan menyesal mengakui bahwa "Dewa Perang akhirnya  lebih berpihak kepada musuh". Kekalahan Jerman di tangan Tentara Merah  Uni Soviet ini menjadi titik balik yang penting, yang membuat raksasa  militer Jerman praktis melemah, tatkala menghadapi sekutu pada Perang  Dunia II.
Sejak Agustus 1942, pasukan Jerman pimpinan Jenderal  Friedrich Paulus benar-benar frustrasi menghadapi strategi perang kota  (urban warfare) yang dilancarkan Uni Soviet. Atas perintah Joseph  Stalin, Tentara Merah yang dibantu warga Stalingrad, dengan cerdik dan  fanatik memanfaatkan apa pun-gedung, gudang, rumah, pabrik, sampai  gorong-gorong -untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah mereka.
Tercatat  sekitar 250.000 serdadu Jerman tewas terjebak dalam perang kota itu.  Padahal, mereka didukung supremasi angkatan darat dan udara.
Perang  di Stalingrad itu mengungkapkan keganasan dan ekstremitas perlawanan  sebuah bangsa yang tidak mengenal "mental kalahan" (defeatism).  Kegagalan Hitler ini membuktikan pula bahwa senjata dan strategi militer  belum tentu bisa mengalahkan nasionalisme yang fanatik dari sebuah  bangsa yang besar.
Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat (AS)  Jenderal Richard Myers hari Kamis (3/4) lalu kepada pers di Washington  mengatakan bahwa apa yang terjadi di Stalingrad 60 tahun yang lalu itu,  tidak akan terulang di Baghdad. "Itu gambaran yang salah. Kami hanya  akan mengepung Baghdad. Separuh dari penduduk Baghdad merupakan penganut  Syiah yang menjadi korban politik Saddam Hussein. Mereka akan membantu  kita," kata Myers.
George Friedman yang menulis pada The Stratfor  Weekly Kamis lalu menilai, Myers sebaiknya belajar dari pengalaman AS  mengambil alih Kota Paris-dengan korban yang relatif kecil-dari tangan  Jerman tahun 1944. Meskipun Hitler memerintahkan pembumihangusan Paris,  para komandan di lapangan menolak perintah itu dan justru segera  menyerah.
Namun, penyelesaian ala Paris tersebut tampaknya  terlalu sukar diterapkan di Baghdad. Meskipun pasukan Irak kurang  berkompeten dalam menjalankan tugasnya, Saddam masih memiliki ribuan  personel Pengawal Republik-dan juga sebagian rakyat-yang siap  mempertahankan Baghdad sampai titik darah penghabisan.
"Ada lagi  strategi lain untuk menaklukkan kota-kota besar. Tahun 1944-1945,  Tentara Merah mengepung Budapest (Hongaria) selama enam minggu,  menghantam kota itu dengan serangan artileri dan pengeboman, sebelum  memasuki kota. Ketika Tentara Merah tiba di pusat kota, tidak ada  perlawanan dari Jerman. Pengepungan ini membutuhkan waktu yang lama dan  memakan banyak korban, rakyat. Namun, kerugian Uni Soviet termasuk  kecil," tulis Friedman.
Ada juga "strategi Berlin", merujuk pada  jatuhnya korban 80.000 serdadu Uni Soviet ketika masuk ke ibu kota  Jerman itu tahun 1945. Tanpa tujuan politik yang jelas, Tentara Merah  terlalu bernafsu untuk menaklukkan Berlin dengan pengeboman udara serta  serangan artileri besar-besaran.
Di kala itu, pasukan Jerman  dibantu oleh milisi sejenis dengan Fedayeen Saddam atau Partai Baath di  Baghdad. "Baghdad merupakan kota modern dengan penduduk lebih dari lima  juta jiwa. Pasukan AS tidak pernah menguasai kota sebesar ini, sambil  menghadapi perlawanan yang cukup keras," demikian Friedman.
Jika  bentrok melawan Pengawal Republik dan rakyat Baghdad tidak bisa  dihindari lagi, korban yang jatuh di kalangan AS dan Inggris akan besar  jumlahnya. "Skenario Paris merupakan model yang tepat bagi AS. Namun,  terdapat marabahaya model Budapest yang justru lebih mungkin terjadi,"  tulis Friedman lagi.
SEMUA ahli milter mengetahui persis  bagaimana cara pasukan AS melancarkan perang kota, yakni jangan pernah  melakukannya. Pasalnya, mereka tidak pernah mengenal Baghdad.  Sebaliknya, Pengawal Republik akan dengan mudah bersembunyi di mana-mana  untuk menyiapkan jebakan.
Keunggulan teknologi juga tidak begitu  bermanfaat pada perang gerilya jenis ini. "Perang kota mengandalkan  tenaga manusia dan mengurangi nilai teknologi. Ini merupakan kebalikan  dari struktur militer AS yang disiapkan dalam peperangan," kata Andrew  Krepinevich, dari Centre for Strategic and Budgetary Assessments di  Inggris, kepada The Economist edisi 22-28 Maret 2003.
Pada  wilayah terbuka, pasukan AS dan Inggris pasti menembak lebih tepat  dibandingkan lawannya. Namun, pada wilayah perkotaan yang disesaki  gedung-gedung tinggi, pengintaian dan komunikasi pasti akan terganggu.
Menerbangkan  helikopter juga riskan, seperti dialami AS yang kehilangan begitu  banyak Black Hawk di Mogadishu (Somalia) tahun 1993. Pada perang kota,  pengambilan keputusan harus diambil secepat mungkin, yang otomatis  mengundang pula terjadinya kesalahan- kesalahan yang tak perlu.
Itulah  yang terjadi di Hue (Vietnam) tahun 1968 atau di Manila (Filipina)  tahun 1945. Sekarang ini sudah banyak keluhan yang dilontarkan oleh  pasukan Inggris terhadap rules of engangement pasukan AS di Irak yang  serba kurang matang.
Pasukan gabungan AS dan Inggris memang  menguasai wilayah pertempuran, tetapi belum memenangi perang. Myers hari  Jumat kemarin mengakui bahwa pasukan Anglo-Amerika bisa dengan leluasa  menarik napas barang sebentar untuk mengatur siasat kapan memulai  "Battle of Baghdad".
Memang Myers, seperti halnya Friedman,  mengakui bahwa pihaknya diuntungkan oleh faktor waktu. "Kami terbantu  faktor waktu dan sebenarnya penguasaan atas Baghdad semakin hari semakin  kurang penting," kata Myers.
Mulai takut? Harian Washington Post  kemarin memberitakan bahwa Pemerintah AS berencana akan mengumumkan  kemenangan perang tanpa harus menunggu tertangkapnya Presiden Irak  Saddam Hussein dan orang-orang di sekitarnya.
"Tujuan kami  bukanlah menguasai gedung-gedung atau menduduki wilayah. Tujuan kami  adalah agar rakyat Irak bisa menerima kenyataan bahwa rezim Saddam sudah  tidak berkuasa lagi," kata seorang pejabat militer senior yang terlibat  dalam perencanaan perang.
Barangkali rasa takut itulah yang  menimbulkan keretakan antara kelompok Menteri Pertahanan AS Donald  Rumsfeld melawan pusat komando di Qatar maupun pasukan di lapangan.  Ketakutan AS itu pasti semakin besar menyusul keluarnya pernyataan dari  Irak semalam. Irak mengancam akan melancarkan serangan  "nonkonvensional", yang bisa ditafsirkan sebagai serangan senjata  pemusnah massal.
Namun, para penggila perang di Gedung Putih  menyatakan rasa gembira setelah Kongres menyetujui dana 80 milyar dollar  AS untuk membiayai perang. Meskipun mungkin sudah mulai agak gentar,  sulit mengharapkan George W Bush membuang rasa gengsinya dengan  memerintahkan gencatan senjata.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi  belakangan ini mencerminkan semakin hilangnya akal sehat pada kalangan  pemimpin kedua pihak yang berseteru. Detik-detik menjelang "Battle of  Baghdad" memang sudah semakin mendekat.
Siapa yang menang? Kata Hitler, itu tergantung dari Dewa Perang.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar