Sabtu, 21 Mei 2011

Kekerasan Sudah Biasa di Indonesia

Pemberdayaan ekonomi dapat meredakan,  bahkan memadamkan—kekerasan,  ekstrimisme, dan  radikalisme -- jika dilakukan secara konsisten dan sinambung. Zuhairi Misrawi, 34 tahun, Direktur Eksekutif  Moderate Musim Society menyampaikan  hal itu dalam diskusi terbatas Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), pada Jumat, 20 Mei malam, di Jakarta.  “Kekerasan dan ekstrimisme sudah jadi profesi di Indonesia.  Cara  efektif  meredamnya adalah lewat pemberdayaan ekonomi—dan, tentu saja, dialog yang terus-menerus,” ujarnya.   
Berlangsung di gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),  Cikini, Jakarta Pusat, Zuhairi hadir bersama sosiolog Paulus Wirutomo  sebagai pembicara Sarasehan ISKA memperingati Hari Kebangkitan Nasional—yang jatuh pada 20 Mei.  Diskusi  terbatas ini dihadiri sejumlah intelektual, perwakilan organisasi masa,  profesional, dan sejumlah media—dengan topik “Radikalisme versus Nasionalisme.” 

Zuhairi Misrawi, alumnus Universitas Al-Azhar Kairo yang dikenal sebagai tokoh muda moderat NU dan Paulus Wirutomo, 62 tahun, guru besar sosiologi di Universitas Indonesia  berbicara dalam sesi berbeda.  Tapi keduanya sepakat  bahwa kemiskinan, kelaparan, diskriminasi ekonomi adalah akar utama kekerasan—termasuk kekerasan terhadap kebebasan beragama dan beribadah. “Pemberdayaan ekonomi merupakan jalan pintas (shortcut)  meredakannya” Paulus menegaskan. 
Zuhairi mencontohkan Ahmadiyah, yang relatif  maju dari segi ekonomi. “Ini memicu kecemburuan—dan  kekerasan terhadap kelompok itu. Ada faktor agama, tentu saja, tapi kecemburuan ekonomi pun menjadi pemicu,”  kata Zuhairi.  Salah satu hadirin, Herwami Taslim dari Law Office Taslim— juga anggota Dewan Penasehat ISKA--memberi analogi yang mengundang gelak riuh  hadirin. “Dalam keadaan lapar, bunyi adzan mesjid, lonceng gereja, atau genta di kelenteng,  akan sama terdengar  di kuping,” ujarnya.  
Taslim menuturkan  pengalamannya menangani  sejumlah pelaku kekerasan di  Glodok, Jakarta Utara pasca reformasi, melalui  pendekatan small economy. “Tidak perlu tinggi-tinggi. Melatih orang menjadi supir, tukang parkir, dan memberi kesempatan orang berjualan makanan dengan aman adalah langkah ekonomi konkrit untuk  meredam kekerasan,” ujarnya.  Dia sepakat dengan Zuhairi dan Paulus,  kekerasan sebagai “profesi” kian marak di Indonesia—dan orang melakukannya untuk menyambung hidup. 
 Isu intoleransi  banyak menarik perhatian peserta saat Zuhairi memaparkan  temuan kasus  sepanjang 2010.  “Ada eskalasi intoleransi, terutama—pasca Reformasi 1998, “ ujar Zuhairi.  Padahal, potensi toleransi amat tinggi jika dilihat dari   realitas sosial masyarakat Indonesia yang majemuk.  Jawa Barat mencatat posisi tertinggi intoleransi dengan 49 kasus—selama periode 2010, termasuk kekerasan terhadap kebebasan beragama dan beribadah. Yogyakarta, Bali, Sumatera Barat—masuk 3 dari 7 wilayah  Indonesia paling toleran dengan hanya satu kasus. Januari 2010 menjadi  bulan paling keras dengan 18 kasus. Sebaliknya April, Agustus, September 2010   “hanya”  diwarnai 2 kasus intoleransi per bulan.   
Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Muliawan Margadana menyatakan isu  “Radikalisme versus Nasionalisme”  sengaja dipilih untuk  memperingati Hari Kebangkitan Nasional. “Kekerasan dan radikalisme  sudah menjadi  patologi sosial kronis di tanah air kita,” dia memberi alasan.
Muliawan  berharap dialog terbatas semacam ini dapat mengggugah  kesadaran  publik pada akar masalah kekerasan serta radikalisme. Dan,menumbuhkan semangat—terutama di kalangan cendekiawan  Indonesia—berkontribusi secara konkrit dalam meredakan dan memadamkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar