Jumat, 16 September 2011

Kasus RAWAGEDE terkuak


Gugatan Rawagede dikabulkan pengadilan Den Haag. Pemerintah Belanda harus memberi ganti rugi terhadap sejumlah janda korban pembantaian massal yang dilakukan militer Belanda pada tahun 1947. Demikian diberitakan Radio Nederland.

Kasus ini diajukan oleh keturunan korban pembunuhan massal di Desa Rawagede (sekarang Balongsari,) di Karawang. Tragedi berdarah ini terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia.
Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai kapten Kustario mereka membunuh ratusan penduduk lelaki di sana. Tahanan dan orang yang mencoba melarikan diri juga dibunuh.
Ini pertamakalinya para korban perang Belanda-Indonesia pada periode 1945-1949 menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan yang dilakukan di Indonesia.
Radio Nederland Wereldomroep menerbitkan seri tulisan mengenai gugatan tersebut. Kali ini rincian data tragedi pembantaiannya.
Menurut Radio Nederland menyatakan, kemenangan gugatan itu dan putusan pengadilan Belanda ini berdampak positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya di Indonesia.
KARAWANG
Nama desa Rawagede kini telah berubah menjadi Balongsari. Desa ini terletak di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang. Sekitar lima belas kilometer ke arah Timur Laut dari ibukota kabupaten.
Pada tanggal 9 Desember 1947, komandan batalyon militer Belanda, 3-9 RI, R. Boer, memerintahkan Mayor Alphons J.H. Wijnen untuk melakukan operasi ke desa Rawagede. Batalyon ini mendapat bantuan 70 tenaga militer dari kompi para 1 KNIL, kompi zeni 12 dan satuan kavaleri. Operasi di Rawagede melibatkan 90 orang militer, yang dibagi menjadi tiga kelompok.
VERSI KUKB
Tugas operasi ini adalah menangkap Kapten Lukas Kustario, seorang perwira TNI yang aktif di wilayah tersebut. Ia dicari karena aktif mempengaruhi kepala desa di wilayah tersebut untuk mendukung republik. Kapten Lukas Kustario juga berusaha mempersatukan berbagai laskar perlawanan yang ada, dan dengan demikian memperkuat TNI.
Selain itu, ia juga bertugas mengkordinasikan aksi perlawanan terhadap Belanda. Demikian menurut situs Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) atau Stichting Comité Nederlandse Ereschulden.
Pimpinan operasi pembersihan Mayor Alphons Wijnen mengerahkan pasukan untuk mengepung desa dan memerintahkan semua penduduk untuk berkumpul. Pada penduduk, tentara Belanda menanyakan keberadaan para pejuang republik. Khususnya Kapten Lukas Kustario. Namun, tidak ada penduduk yang mengatakan keberadaan para pejuang.
Mereka yang tidak tahu, tentu tidak bisa menceritakan apa-apa. Dan mereka yang tahu, tidak mau membocorkan informasi.
Selanjutnya semua penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer di lapangan. Menurut salah seorang korban selamat, Saih bin Sakam, ia termasuk dari sekitar duapuluh orang penduduk pria yang mendapat perintah untuk berdiri berjejer.
Di antara mereka adalah ayah dan para tetangga Saih bin Sakam. Kemudian mereka “didereded”(bahasa Sunda, artinya diberondong, red.) oleh tentara Belanda. Saih bin Sakam kena tembakan di tangan. Ia menjatuhkan diri dan pura-pura mati. Beberapa lama kemudian, ketika ada kesempatan, ia segera melarikan diri.
VERSI PEMERINTAH BELANDA
Beberapa hari setelah pembantaian terjadi, pihak militer Belanda menerbitkan penjelasan tentang kasus ini. Penjelasan tersebut dimuat oleh harianNieuwsgier yang terbit di Jakarta, pada tanggal 23 Desember 1947. Menurut pihak militer, selama bulan bulan pertama setelah Politionele Actie keadaan di daerah ini cukup tenang.
Namun, perlahan-lahan berbagai Republiekense benden berhasil menyelundup masuk dan mulai mempengaruhi penduduk. Ketika merasa sudah cukup kuat, mereka mulai melancarkan perlawanan terbuka. Misalnya, merusak jembatan, jalan, rel kereta api dan penggilingan padi.
Penduduk yang tidak mendukung kegiatan mereka, akan menghadapi resiko diculik, atau bahkan dibunuh. Untuk itu tersedia beberapa algojo khusus. Di dekat bendungan Balahar, di sungai Citarum, ditemukan 28 mayat tanpa kepala.
Singkat kata, berbagai kejahatan, sabotase dan pengrusakan makin meraja lela. Sehingga, pada pekan ke dua bulan Desember, pihak Belanda mengambil keputusan untuk melakukan tindakan tegas. Dan sejauh itu sudah dapat dipastikan bahwa desa Rawagede merupakan pusat semua kegiatan tersebut.
Pada tanggal 9 Desember pasukan militer Belanda mulai mengepung desa Rawagede. Para “bende” ke luar dari desa tersebut dalam beberapa kelompok, yang terdiri dari sepuluh orang, dan mulai melepaskan tembakan. Pihak militer berhasil menembak mati 150 orang, dan menangkap sembilan orang.
JUMLAH KORBAN
Mengenai jumlah korban tewas, beberapa sumber menyebut angka berbeda. Menurut buku De Excessennota, tentara Belanda mengeksekusi sekitar 20 orang penduduk. Dan jumlah korban tewas selama operasi berlangsung 150 jiwa.
Sementara pada batu peringatan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, jumlah korban tewas di Rawagede pada tanggal 9 Desember 1947 tersebut 431 jiwa.
Harm Scholtens, seorang sejarawan Belanda, menemukan angka lain, dari arsip het Hooggerechtshof(Pengadilan Tinggi, red.) di Batavia. Tentara Belanda pada hari itu melakukan eksekusi sebanyak delapan atau sembilan kali. Dengan cara menjejerkan penduduk yang akan dieksekusi. Dan setiap jejeran terdiri dari duabelas orang.
Selanjutnya, di luar desa, mereka masih menembak mati sekitar tujuh atau sepuluh orang penduduk lainnya. Dengan demikian, menurut Harm Scholtens, jumlah korban eksekusi antara 100 hingga 120 jiwa.
Arsip dokumen juga memuat informasi bahwa komandan kompi tentara Belanda tidak lupa menekankan, agar jangan mengeksekusi orang yang tidak bersalah. Menurut dokumen tersebut, semua orang yang dieksekusi berambut panjang dan telapak tangan serta kaki mereka tidak kapalan. Selain itu, mereka membawa surat-surat yang bersangkut-paut dengan Hizboellah atau organisasi semacamnya.
Harian Nieuwsgier terbitan tanggal 16 Desember 1947 mengutip pemberitaan harian Berita Indonesiamengenai operasi pembersihan di Rawagede ini. Menurut Berita Indonesia, selama empat hari pelaksanaan operasi, tentara Belanda telah membunuh 312 orang penduduk, dan melukai sekitar 200 orang lainnya.
Tentang jumlah korban tewas ini, semua sumber tidak dilengkapi dengan daftar nama dan identitas korban.
WAJIB MILITER
Menurut penelitian Harm Scholtens pasukan yang terlibat dalam pembantaian adalah tentara wajib militer. Ini menarik, karena berbeda dengan militer profesional KNIL, tentara wajib militer dikenal bersifat lunak. Sehingga mendapat julukan tentara “soesoe.” Mereka dikenal bersikap ramah terhadap penduduk dan kritis terhadap kebijakan pemerintah dalam masalah proses dekolonisasi.
Saat ini tampaknya semua orang yang terlibat dan mengalami langsung kasus pembantaian tersebut sudah meninggal dunia. Mayor Alphons J.H. Wijnen telah meninggal di Belanda pada tahun 2011. Sementara korban eksekusi yang berhasil menyelamatkan diri, dan sempat berkunjung ke Belanda, Saih bin Sakam, meninggal pada tanggal 8 Mei 2011 lalu.
Sejumlah janda dari para lelaki, yang dieksekusi oleh tentara Belanda di Indonesia — tepat 62 tahun lalu, menuntut Negeri Belanda. Mereka ingin Belanda mengakui bahwa mereka telah memperlakukan warga Rawagede dengan tidak manusiawi. Mereka juga meminta ganti rugi secara finansial. Demikian dinyatakan pengacara mereka Liesbeth Zegveld

Tidak ada komentar:

Posting Komentar